F Gerakan Posmodernisme yang Mengaburkan Bahasa Al-Quran

Gerakan Posmodernisme yang Mengaburkan Bahasa Al-Quran


"JIKA kamu ingin menaklukkan dunia, kamu tidak perlu bertarung secara fisik, tetapi berperanglah dalam wacana." Kata-kata ini pernah diucapkan oleh Michael Foucault sebagai babak baru pertarungan 'bahasa' setelah peradaban modern yang kemudian dipertanyakan oleh kaum Posmo (Postmodernisme).

Sekarang bahasa baru bukan lagi alat untuk percakapan manusia, tetapi telah menjadi senjata untuk membangun kolonisasi. Dia tidak lagi netral, tetapi subjektif, karena bahasa digunakan untuk memerintah.

Postmodernisme adalah sebuah bahasa baru yang diimplementasikan dalam perselingkuhan antara media dan liberalisme. Jadi jangan heran, makna liberal dan haram disempurnakan sebaik mungkin untuk menjadi bahasa yang mulia dan bahkan elegan. Riba dibuat menjadi bunga, sodomi lebih manis disebut gay, kapir lebih indah jika disebut non muslim, bahkan pelacur di era postmodern ini dianggap sebagai bagian dari 'profesi'. Orang tidak lagi menganggap perzinaan, karena posisinya lebih dihormati dengan disebut “pekerja (bahasa bagi profesi) seks komersial”.

Isitlah Postmodenisme pertama kali muncul tahun 1917, kompilasi filsuf dari Jerman Rudolf Pannwitz menggunakan istilah ini untuk membuat perbedaan dengan wacana Barat yang modern. Dan diskusi tentang pos itu sendiri dipenuhi dengan kompilasi Jean Lyotard untuk pertama kalinya yang menulis studi postmodern pada tahun 1984. Saat ini, istilah Postmodernisme telah menyebar luas ke seluruh dunia. Salah satu ciri era postmodern adalah banyaknya bahasa yang membingungkan. Dengan menyebut realitas sebagai teks, Posmodernisme memberi peran besar dalam bahasa. Bahasa mengendalikan jalan pikiran manusia. Namun, bahasa juga bisa berubah wujud menjadi tiran kompilasi karena selalu bersinggungan dengan kepentingan dan kekuatan baru.

Kita ingat di era Orde Baru, gejolak eufemisme mulai bermunculan di media. Eufemisme sendiri adalah kata yang lebih halus untuk peliputan yang dirasa tidak sesuai dengan norma umum. Tak pelak, kata-kata seperti "tempat kencing" kemudian dihaluskan menjadi "kamar kecil". Istilah "kencing" dianggap tidak cocok jika digunakan sebagai percakapan manusia sehari-hari.

Masalahnya kemudian, kompilasi bahasa selalu berkaitan dengan kekuasaan, maka makna eufemisme selalu dihadapkan pada berbagai motif dan kepentingan. Dia tidak lagi bertindak sebagai penyempurna bahasa, tetapi mengandung konten politik jika tidak ingin disebut sebagai cara baru untuk mengalihkan perhatian publik dari kebijakan non-populisnya.

Sebagai contoh, kompilasi dari era Orde Baru menangkap banyak aktivis politik menjadi fenomena umum, sehingga untuk mengurangi kekacauan masyarakat, kata "tertangkap" kemudian disempurnakan untuk "diamankan". Seolah-olah pemerintah ingin mengatakan bahwa penangkapan aktivis itu adalah bagian dari upaya untuk menstabilkan keamanan nasional. Demikian juga dalam konteks ekonomi, bentangan ekonomi yang diluncurkan pemerintah orde baru untuk meningkatkan bahan komoditas juga mendorong pemerintah untuk menggunakan eufemisme dalam meluncurkan kata "penyesuaian harga" daripada "Kenaikan harga komoditas dasar".

Tentu saja, karena kebijakan sekuler Orde Baru dan pengekangan aktivis Islam, eufemisme kemudian mulai menyebar ke tema-tema yang sangat sensitif terhadap kepentingan umat Islam dan konsep Islam itu sendiri. Di sinilah liberalisme menemukan tempat yang tepat untuk perselingkuhannya, yakni membangun sebuah jalan menuju kekuatan baru. Dan apa yang dibahas oleh Dominic Strinati dalam Teori Budaya Populernya, bahwa media massa dan budaya akan selalu mengendalikan hubungan sosial masyarakat menjadi suatu keharusan. Jadi, bukan masyarakat yang menciptakan realitas, tetapi medialah yang memiliki otoritas dalam mendukung realitas.

Sampai detik ini, masyarakat Indonesia telah membuat permisif dengan berbagai tindakan amoral karena kata-kata perzinahan, sodomi, perselingkuhan, menjadi terhubung dengan istilah-istilah seperti kecurangan, seksual, non-Muslim, dan istilah dari agama lain. Belum lagi istilah-istilah Barat yang tidak kita temukan dalam Islam tetapi tetap dicari untuk dasar Al-Qur'an seperti liberalisme, sekularisme, pluralisme, gender, multikulturalisme, fundamentalisme dan sebagainya. Maka dari itu banyak orang Indonesia yang kaget dengan istilah-istilah baru. Inilah yang dimaksud oleh Micheal Foucault dengan kekuatan wacana.

Eksplorasi wacana lain yang dapat kita lihat adalah munculnya kata “gender” yang dimunculkan oleh kaum liberal dan disosialisasikan melalui media. Istilah 'Jenis kelamin' tidak pernah lagi kita temukan dalam kamus bahasa Indonesia. Tetapi yang kita temukan adalah istilah “Gender”. Inilah yang disebut dalam Encyclopedia of Women Studies sebagai "konsep budaya yang membahas perbedaan (perbedaan) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara pria dan wanita yang berkembang di masyarakat. Penyetaraan gender akhirnya selalu tidak berhubungan dengan Islam . Karena Islam hanya menjelaskan hubungan antara pria dan wanita dalam beribadah kepada Tuhannya.

“Tidaklah Aku ciptakan jin-manusia melainkan hanya untuk beribadah kepadaKu.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)

Al-Quran sangat jelas menyatakan bahwa pria dan wanita hanya diikat oleh iman dan amal ibadah. Al-Qur'an tidak mendelegasikan manusia ke dalam budaya, karena budaya tidak selalu sejajar dengan hukum Islam. Sehingga umat Islam saat ini terdorong untuk tidak terjebak dalam konstradiksi wacana yang sibuk di era postmodern ini.

Begitu juga dengan istilah 'zina' yang lebih familiar didengar oleh orang Indonesia, meskipun zina berasal dari bahasa al-Quran, tetapi lebih elegan jika disebut dengan “Bercinta”. Begitupula istilah 'non muslim' yang lebih populer digembar-gemborkan media ketimbang kata 'kafir' yang oleh sebagian orang dianggap menyinggung kelompok agama tertentu.

Sayyid Qutb dalam bukunya Beautiful in the Qur'an memberi tahu kita mengapa AlQuran dapat melumpuhkan orang-orang Arab. Pakar sastra ini menyimpulkan bahwa ternyata Al-Quran tidak hanya kaya akan struktur editorialnya, tetapi juga mengikat beberapa ayat tanpa tasyri (ketentuan hukum) yang dianggap adil, terperinci, dan sangat mudah digunakan di setiap zaman.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Syed Naquib Al Attas. Dalam bukunya, Konsep Pendidikan dalam Islam, pejuang Ilmu Pengetahuan Melayu ini mengatakan bahwa Islamisasi yang digalakkan oleh Nabi Muhammad dengan adanya wahyu membuat bahasa al-Quran menjadi bahasa universal yang sangat penting. Mengenai hal pertama yang dilakukan oleh Al-Quran adalah merombak struktur semantik konsep-konsep kunci dalam bahasa Arab Pra-Islam dan memunculkan bahasa dan istilah baru seperti kata "Allah, haji, atau nikah".

Karena itu, penggunaan masalah bahasa sangat penting dalam Islam. Bahasa dalam Islam adalah alat yang menuntun seseorang menjadi semakin semangat dalam beriman kepada Tuhannya.

Ibn Katsir pernah berkomentar, "Yaitu (Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab) karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling fasih, jelas, luas dan maknanya lebih sesuai untuk semua  manusia. Oleh karena itu, kitab yang paling mulia (yaitu Al-Qur'an diturunkan kepada Rasul yang paling mulia (yaitu Nabi sallallaahu'alaihi wa sallam) dalam bahasa yang paling mulia (yaitu bahasa Arab), melalui kalimat yang paling mulia (yaitu malaikat Jibril), ditambah kitab ini diturunkan pada yang paling mulia di muka bumi (yaitu tanah Arab), dan awal turunnya di bulan paling mulia (yaitu Ramadhan), sehingga Al-Quran menjadi sempurna dari semua sisi."

Wallahu a’lam

Post a Comment

0 Comments