F Caci Maki dan Ujaran Kebencian Menjelang Pemilu

Caci Maki dan Ujaran Kebencian Menjelang Pemilu


Setelah pasangan Presiden dan wakil Presiden diumumkan mengikuti penetapan nomor seri masing-masing pasangan, ruang media kita, terutama media sosial, dipenuhi dengan konten negatif seperti ujaran kebencian, penghinaan, nyinyir dan sejenisnya.

Ekspresi jenderal kardus, jenderal baper, cebong, kampret, serta kutukan kasar dan sumpah serapah di kolom komentar facebook dan twitter adalah beberapa contoh nyata yang sangat tidak sesuai dengan karakteristik orang Indonesia sebagai manusia timur yang beragama, berbudaya, berperadaban, dan dikenal menjunjung tinggi sopan santun.

Ungkapan kebencian bisa mengarah pada konflik horizontal jika para pemimpin bangsa ini tidak bisa mengendalikan pengikut dan masyarakat mereka secara umum. Apalagi kedua pasangan ini berada dalam identitas agama yang sama, yaitu Muslim. Jadi dengan agama yang sama seharusnya tidak ada lagi sentimentil beragama.

Melecehkan, mencela, mengutuk, atau memfitnah tokoh dan simbol yang dihormati oleh orang atau kelompok tertentu sangat dilarang dalam ajaran Islam.

Beberapa orang percaya pada masa Nabi Muhammad ada sekelompok orang yang kurang senang ketika menyaksikan patung-patung berhala disembah, sehingga kadang-kadang mereka mencela patung-patung itu di hadapan para penyembah berhala. Menurut Qatadah, seorang penerjemah dan sahabat Nabi, umat Islam berulang-ulang melemparkan cacian kepada mereka.

Ibn Abbas berkata dalam sejarah Al-Walibi: "Orang-orang musyrik berkata kepada Nabi: Wahai Muhammad, kamu harus berhenti menegur para dewa kita atau mereka pasti akan mencaci maki Allahmu."

Kemudian Allah melarang umat Islam untuk mencaci maki dewa-dewa mereka, seperti yang tertulis dalam Surat Al-An'am ayat 108,  “…Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan kembali memaki Allah dengan cara yang melampaui batas tanpa dasar ilmu pengetahuan. Demikianlah cara kami menjadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka..”

Peristiwa yang disebabkan oleh turunnya ayat tersebut dapat dilihat dalam buku Asbab an-Nuzul oleh Al-Wahidi dan dalam komentar Ar-Rozi, Ibn Kathir, Ath-Tabari, dan Al-Qurthubi.

Fakhruddin Ar-Razi dalam buku Tafsir al-Kabir menambahkan, ayat ini menunjukkan bahwa amar makruf terkadang bisa menjadi buruk jika hal itu menyebabkan munkar dan mahi munkar akan menjadi jelek jika hal itu menyebabkan peningkatan kemunkaran.

Selain cerita di atas, ada juga peristiwa dalam sejarah Islam yang bisa menjadi contoh kasus di ranah politik. Muhammad Abduh menceritakan: "Suatu kali Khalifah Ali bin Abi Thalib mendengar beberapa temannya mengkritik penduduk pengikut Suriah (Suriah) Muawiyah dalam salah satu perang di Shiffin.

Ali pada saat itu berkata: Sesungguhnya saya tidak menyukai kalian yang suka menghina mereka (menjadi tukang pencerca). (Nahjul Balaghah, Vol. II: 185, khotbah 206).

Dalam cerita lain, suatu hari Nabi Muhammad berkata: "Terkutuklah orang yang mengutuk orang tuanya." Para sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, bagaimana seseorang bisa mengutuk orang tua mereka?"

Nabi menjawab begini: "Ketika dia menghina ayah seseorang, maka orang itu akan menghina balik ayahnya dan ketika dia mengutuk ibu seseorang maka orang itu mengutuk balik ibunya." (Tafsir Ibn Kathir, Vol. III: 314 dan Sahih Muslim, Vol. I: 65).

Dari tiga cerita di atas, berikut adalah beberapa poin yang bisa dijadikan pelajaran:

Pertama, masing-masing kelompok pasti akan percaya bahwa kegiatan mereka adalah baik, meskipun sebenarnya (tidak dibenarkan). Sesuatu yang terlihat bagus belum tentu benar. Ini seperti yang diungkapkan dalam Al Qur'an bahwa “..demikianlah Kami jadikan setiap umat mengganggap baik pekerjaan mereka.”

Kedua, tidak peduli betapa marahnya kita terhadap musuh atau lawan, kita masih harus bisa mengendalikan emosi dan sikap. Jangan biarkan kebencian seseorang membuat kita tidak adil terhadapnya, seperti ungkapan dalam QS Al-Maidah: 8.

Ketiga, penghinaan dan ujaran kebencian tidak dapat digunakan sebagai sarana atau bahasa dalam menyampaikan pesan dakwah, penyerahan gagasan, atau dalam kegiatan amar makruf nahi munkar. Karena itu tidak akan bisa membawa seseorang kedalam kebaikan dan mencegah kemunkaran, justru dkawah penuh cacian malah akan menghasilkan keburukan.

Karena itu, Allah memerintahkan Nabi Musa dan Harun untuk pergi ke Firaun dan berbicara kepadanya dengan kata-kata yang lembut (Lihat QS. Thaha: 44).

Wallahu a’lam







Post a Comment

0 Comments