F KH. Dimyati Rois dan Kenangannya Tentang Lirboyo

KH. Dimyati Rois dan Kenangannya Tentang Lirboyo

Artikel ini merupakan hasil 'wawancara dengan beliau sekitar tahun 2010
***********

Mbah Dim atau KH.Dimyati Rois Berkata:
Tidak banyak yang saya ketahui mengenai riwayat dan sejarah Lirboyo sebab disana saya cuma ngaji sebentar. Maka dari itu saya tidak mau cerita panjang lebar, sebab jika di dengarkanpun hal yang diceritakan itu tidak ada ujung pangkalnya, kecuali kalau masih ada orang-orang yang dahulu pernah nyantri di lirboyo. Berbeda jika sejarahnya sudah lengkap, baru saya mau menambahkan, sebab saya mondok di lirboyo itu tidak menangi pertama dan tidak menangi terakhir.
Sekitar tahun 60-an saya mondok ke lirboyo, tidak terlalu lama di sana, sebab hanya dua kali tepatnya tahun 60-an dan tahun tujuh puluh berapa gitu, saya sudah lupa, dan pada waktu itu ngajinya cuma sebentar, kamar yang ditempati pada wkatu itu ada dua, di pondok HM dan di pondok induk, saya khan asalnya dari Brebes, tepatnya daerah Bulakamba, kalau di pondok barat itu kamar saya tepatnya di komplek C2 yang di bawahnya ada terowongan, saya di sana berbaur dengan arek Banyuwangi. Kalau di HM kamar saya berada di bawah sebelah pojok, entah kamar berapa, tahun tujuh puluh berapa gitu, saya cuma beberapa bulan di sana, dan kalau tidak salah bertempat di kamar tamu, harus di akui bahwa Lirboyo merupakan pondok ke dua yang saya singgahi setelah sekian lama nyantri di Kaliwungu, setelah itu saya melanjutkan studi belajar agama Islam ke daerah Sarang Rembang.
Awal mula saya ke Lirboyo tidak lain mengikuti perjalanan mondok kakak saya yang sudah lama berada di sana, kakak saya bernama Masduki. Saat datang pertama kali di Lirboyo kakak saya sudah menapaki jenjang kelas 1 tsanawiyyah, dia sudah lama disana hingga bisa menamatkan studinya di Lirboyo.
Sebenarnya saya di Lirboyo cuma ngaji sebentar, meski demikian harus di akui bahwa saya sangat dekat dengan kyai Mahrus, tapi kedekatan saya dengan beliau tak lain layaknya kedekatan seorang santri terhadap kyainya, hal ini bisa di bilang dekat sekali, tidak, jauh juga tidak, malah tadi sore ada cucunya yang baru datang dari sini (rumah di kaliwungu) dan banyak berbagai riwayat Kyai Mahrus yang saya ceritakan kepadanya, malah dia minta agar suatu saat nanti saya bisa menyampaikan lebih banyak cerita kepadanya. Sebenarnya banyak fenomena yang melingkupi gerak hidup Kyai Mahrus yang saya ceritakan baik kepada teman maupun orang-orang yang datang dari Lirboyo, meski di Lirboyo ngajinya cuma sebentar tapi banyak petunjuk-petunjuk yang saya ambil terutama dari Kyai Mahrus, dan harus diakui bahwa beliau merupakan salah satu guru saya.
Suatu hari pernah saya minta di doakan agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat, kemudian Kyai Mahrus memberi saya ijazah dan bilang “Dim nih lakoni” saya jawab “Nggak usah lakon-lakonan kyai, kalau bisamah yang tidak saya lakoni tapi iso” hehe (tertawa).
Dalam segala apapun, saya menilai Kyai Mahrus bukan sosok guru yang keras dalam mendidik santri-santrinya, meski dalam sejarah hidupnya beliau pernah pula naplok santri, tapi hal ini lebih disebabkan karena sikap santri itu yang kebangetan. Kalau tidak kebangetan yah beliau sendiri tidak akan menaploknya.
Sewaktu nyantri di Lirboyo, Kyai Mahrus sudah aktif di kepengurusan NU dan termasuk pengurus NU wilayah Jawa Timur, beliau terjun di dunia organisasi sudah sangat lama, menurut saya beliau itu sosok kyai yang kharismatik, kalau di bilang sangat keras yah tidak, tapi kalau di bilang berani, saya baru setuju, sebab dalam penelitian saya, beliau termasuk kyai yang sangat pemberani dalam menghadapi situasi yang gawat sekalipun, tidak heran jika tentara dan para pejabat itu mendekat kepada Kyai Mahrus sebab beliau termasuk orang yang bijak dan berani.
Setiap saya mengadakan pengajian, sering sebenarnya saya cerita tentang sosok kyai mahrus karena beliau itu saya anggap sebagai guru, lebih-lebih pada jaman saya itu merupakan jamannya aktif ngaji pasaran, cuma cerita yang mengalir itu tidak pernah di tulis. Sebab menurut saya, cerita yang akan ditulis itu referensinya harus diambil dari orang-orang yang mengalami peristiwa dijamannya. Seperti Kyai Abu Sujak Mayong, Kyai Miftah yang berasal dari Tegal. kalau sekarang tentu saja para saksi sejarah itu sudah banyak yang wafat.
Pernah saya mendengar bahwa pada saat tentara Jepang pertama kali datang ke Semarang, tentara Belanda mengerti bahwa suatu saat nanti tentara Jepang akan sampai ke daerah Kediri, jadi pada jaman itu tentara Belanda sudah mempersiapkan diri guna menghadapi serbuan tentara Jepang, maka tidak aneh jika pada waktu itu tentara Belanda banyak bermunculan di kawasan gunung klotok guna mempersiapkan diri menghadapi Jepang. Nah, yang menceritakan sejarah semacam itu kepada saya merupakan orang-orang dahulu, sedangkan orang-orang sekarang tentu saja nggak bakalan ngerti masalah ini, sebab pada jaman itu putra-putra kyai Lirboyopun masih kecil semua. Kebetulan orang yang menceritakan sejarah itu bertepatan menjadi pelaku dalam rentetan peristiwa yang menyelimuti perjalanan Pondok Pesantren Lirboyo.
Pada waktu itu orang-orang Belanda masuk lewat jalur Klotok, saya katakan bahwa fenomena ini merupakan sejarah lama, sedangkan di masa sekarang orang kadang nggak tahu asal usulnya bagaimana, maka dari itu saya nggak mau cerita panjang lebar sebab yang di tulis di sini bisa jadi nggak benar, kalau keluarga Lirboyo nggak pernah mendengar sejarah yang saya sampaikan bisa jadi hal yang saya ceritakan di sini mata rantai rowinya nggak mushohah.
Jadi, gunung klotok pada waktu itu banyak di banjiri tentara Belanda (1942-1943), setelah Indonesia merdeka, tentara itu ditangani langsung oleh pemerintah yang penanganannya di serahkan kepada para kyai. Akhirnya para kyai mengerahkan para santri hingga mencapai 17 truk yang kesemuanya dikumpulkan di Pondok Pesantren Lirboyo. Dari ke 17 truk itu di bagi menjadi 3, artinya ada devisi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan ada juga yang Jawa Timur, sebelum berangkat ke medan perang, para santri di beri telur ‘asma satu persatu oleh kyai Mahrus, beliau kemudian berpesan “jika Belanda sudah menyerah jangan sekali-kali ada anak santri yang macem-macem” akhirnya berangkatlah para santri dengan teriakan Allahu Akbar sampai Belanda menyerah. Jadi Kyai Mahrus menggerakan para santri dari rumah agar mau melawan Belanda dan pada waktu itu beliau masih berdomisili dipondok barat, belum pindah ke timur. Setelah Belanda menyerah ternyata ada anak santri yang nakal, topinya seorang wanita belanda di ambil oleh santri tersebut, he he he (tertawa) 
Sejarah diatas saya dapatkan langsung dari seorang santri sebelum saya, akan tetapi kualitasnya belum tentu di benarkan oleh keluarga Lirboyo, yang perlu di catat dalam hal ini adalah orang yang cerita kepada saya itu termasuk salah satu santri yang ikut terjun ke medan laga, kemungkinan besar peristiwa ini menyeruak saat Mbah Manab masih hidup.
Secara pribadi saya sebenarnya tahu banyak tentang sejarah semacam itu tapi saya tidak berani menceritakannya sebab orang-orang yang menceritakan sejarah itu kepada saya kebanyakan sudah meninggal dunia semua.
Kondisi Pon-Pes Lirboyo
Saat nyantri di lirboyo, pada waktu itu belum ada gedung madrasah (tahun 60-an) sekolahnya masih di jerambah-jerambah masjid, dan di atas panggung yang di bawahnya ada kamar santri sebelah utara masjid itu. Saat saya di sana listrik sudah masuk pondok akan tetapi jalan yang menuju Lirboyo belum di aspal sama sekali dan yang lebih tragis lagi masih banyak ndut lumpur yang menggenang di sepanjang condekan jalan menuju Pondok Lirboyo. jadi kalau dari Bandar musim rendeng pasti semua orang akan berjalan kaki.
Yang paling lucu, saya itu selalu menganggap kalau di lirboyo itu sholatnya menghadap ngalor He he (tertawa) seperti juga di kaliwungu, entah mengapa saya selalu punya perasaan menghadap ngidul dan perasaan ini nggak bisa di rubah sejak lama, jadi gunung klotok di lirboyo itu perasaan saya adalah di sebelah utara bukan barat, dan perasaan ini anehnya nggak pernah hilang sampai sekarang, artinya saya ini memang sulit jika di tanya mana sebelah barat, utara dan lain sebagainya, sampai sekarang perasaan itu nggak bisa hilang.
Lirboyo itu merupakan desa yang dikepung oleh komplek PKI, PKI itu khan jamannya MUSHO dan yang tidak ikut-ikutan menjadi PKI hanya kyai dan keluarganya, cuma PKI di Lirboyo itu saya anggap sebagai komunitas orang baik-baik, masalahnya kalau kita menilai persoalan berontak atau tidak, kenyataannya sebagian para santri masih banyak yang silaturrohmi ke desa-desa, terbukti saat ada santri, sikap masyarakat Lirboyo yang PKI itu juga sopan dan tidak memperlihatkan sikap tidak senang. Dari sini kita bisa mengukur letak karismatiknya para Kyai Lirboyo, meski di sana ada komplek PKI, tapi hubungan masyarakat dengan para santri terbilang cukup baik sebab melihat 2 kyainya yang mempuanyai kharisma tinggi yakni Kyai Marjuki dan Kyai Mahrus.
Menurut hemat saya, asal usul banyaknya komunitas PKI di sekitar Lirboyo, bermula dari keangkeran Lirboyo yang sudah sangat masyhur kemana-mana, yang namanya kyai itu khan____ bertepatan ruang lingkup para santri di komplek Lirboyo dari dulu memang banyak PKI-nya, kondisi Lirboyo semacam itu sama percis dengan kondisi pondok pesantren besar lainnya, contoh dalam hal ini adalah pondok Lasem yang kanan kirinya di kepung oleh masyarakat China, Begitulah kondisi Pon Pes lirboyo yang sangat memprihatinkan, selain terkenal angker juga banyak dihuni oleh orang-orang PKI, tapi berhubung Kyainya memiliki karisma yang sangat tinggi maka hubungan santri dengan masyarakat sekitar itu baik-baik saja, hal ini di sebabkan karno faktor Kyai Marjuki dan Kyai Mahrus yang amat di segani, apalagi jika di bandingkan dengan Mbah Manab, cuma ketika saya nyantri di sana, beliau itu sudah wafat.
Pada saat gencar-gencarnya pergerakan PKI di Indonesia, dan PKI sempat menggali lubang besar di belakang pondok Gus Anwar (1965) guna di jadikan mayat-mayat korban PKI, kenyataannya pemberontakan mereka tidak mempengaruhi stabilitas kelancaran belajar mengajar di Pon-Pes Lirboyo.  Cuma pada waktu itu saya sudah tidak nyantri di Lirboyo, sebab saya keluar dari sana tahun 1961, jadi saya satu tahun nyantri di Lirboyo, selama satu tahun itu tempat yang saya singgahi, pertama di Kyai Marjuki kemudian pindah ke Kyai Mahrus.

Teman dan rahasia kebesaran Lirboyo

Saya di lirboyo bersama seorang sahabat yang bernama Mishbah, ada juga yang bernama Hadzik (Brebes), kemudian dia diambil mantu oleh Kyai Bukhot, lalu punya anak bernama Ishom (tamatan lirboyo), Hadzik itu berdomisili di Tebu Ireng, jadi saya satu angkatan dengan dia. Sewaktu mondok di HM saya punya sahabat bernama Utsman, ada juga sahabat saya, Fauzi berasal dari gedongan Cirebon, dia masih keponakannya Kyai Mahrus, anak-anaknya sekolah di jerman S3 mengambil jurusan tekhnik mesin.
Rahasia Lirboyo menjadi pondok besar hingga sekarang di huni oleh ribuan santri menurut saya dikarenakan faktor Mbah Manab, di samping beliau terkenal al-Alim al-Alamah beliau juga ahli riyadloh, katakanlah bahwa Mbah Manab itu orang yang sangat karismatik, disamping perjuangan beliau diteruskan oleh Pak Kyai Marjuki dan Pak Kyai Mahrus, wanaqsubuma qoddamu wa aktsarohum ini karena al-Alamahnya juga riyadlohnya, disamping keturunan beliau yang bisa meneruskan dan mampu menjaga eksistensi pesantren Lirboyo. faman yusabih abahu famâ dhalam hal ini di barengi keikhlasan untuk mendidik anak santri bukan untuk kepentingan individu ta pi untuk kepentingan umat, bangsa dan Negara.

Pengajian Hari selasa libur 

Untuk alasan kenapa pondok Lirboyo meliburkan pengajian hari selasa sebab hal itu kemungkinan hanya untuk istirahat saja, kenyataannya pengajian di Kaliwungu juga liburnya hari jumat dan selasa, meski ada pengajian, hal itu sekedar membacakan kitab yang tidak dibacakan selain hari jumat dan selasa, menurut saya sudah wajar jika sebagaian pesantren meliburkan pengajian hari selasa sebab yang di hadapi oleh kyai itu tidak hanya santri tapi juga masyarakat.
Saya mengaji ke Mbah Marjuki dan Mbah Kyai Mahrus itu cuma sebentar, meski demikian saya mengakui bahwa beliau-beliau itu yang paling banyak memberi petunjuk kepada saya. Saat di lirboyo, saya pernah ngaji Tafsir ke Kyai Marjuki, sewaktu di sana saya tidak sekolah seperti kebanyakan santri lainnya. Sedangkan ke Kyai Mahrus saya mengaji kitab___ walaupun dulu sewaktu saya ngaji ke Kyai Mahrus itu tidak saya absahi, bukan saya sudah ngerti, tapi memang saya sendiri yang belum bisa ngabsahi. He he (tertawa). Pernah di bulan puasa saya mengaji kitab ___Luma’ ke Kyai Mahrus sampai khatam, pernah pula megaji kitab Jami’us Shoghir ke beliau tapi nggak khatam. Hal ini bukan berarti beliau ngaji kemudian kitabnya tidak dikhatamkan tapi lebih di sebabkan karena saya ngajinya yang nggak khatam karena pindah pondok. He he (tertawa).
kyai Mahrus itu kalau baca kitab cepetnya minta ampun. He he (tertawa) dan kebiasaan beliau kalau mengaji itu kadang sambil merokok. He he (tertawa) pernah saya mengaji ke Kyai Mahrus di musholah itu, kebisaan beliau kalau mengaji sering di taqrir.
Sosok KH. Mahrus Ali dan KH. Marjuki
Harus di akui kalau kyai Mahrus itu sering kedatangan tamu dari kalangan pejabat dan golongan lain, biasanya gubernur dan dari berbagai lapisan masyarakat, katakanlah bahwa kyai Marjuki bertugas dibagian ‘dalam’ sedangkan kyai mahrus berperan di bagian ‘luar’. Hal ini tidak lain karena mbah Manab sudah menyiapkan dua orang menantu yang peranannya ada yang di ‘luar’ dan ada yang di ‘dalam’.
Saya punya banyak kisah tentang Kyai Mahrus, tapi tidak berani menceritakannya, seperti kisah penyerangan para santri melawan tentara Belanda di gunung Klotok itu sebenarnya hanya pemerintah sendiri yang ngerti, cuma saya nggak mau menceritakan peristiwa semacam itu secara terang-terangan.
Yang jelas, mbah Juki dan mbah Mahrus itu merupakan sekaliber ulama yang alim al-Alamah dan kharismatik, maka tidak heran jika Pon-Pes Lirboyo sampai saat ini masih tetap eksis sebab beliau-beliau itu ternasuk orang yang mukhlishina lahuddin, lebih-lebih mbah Manab.
Saat saya mengaji tafsir ke mbah Marjuki, banyak wejangan yang saya dapat dari beliau sebagaimana wejangan dan nasehat yang saya dapat dari mbah Mahrus. Mbah Juki itu khan sikap dan prilakunya sufi, tashawuf, yah Mbah Yai Mahrus pun sikapnya tidak pernah lepas dari tashawwuf, wong baca kitab Ihya’ kok, tapi perbedaan 2 kyai ini tidak bisa saya ungkapkan di sini.
Tidak banyak yang saya ketahui dari aktifitas santri lirboyo pada masa itu sebab saya di lirboyo kebanyakan mengaji pasaran, dim bah juki dan mbah mahrus pun mengajinya di ndalem beliau-beliau “dim kapan...” he he (tertawa), itulah salah satu cuplikan dialog saya dengan kyai Mahrus yang masih kental dengan loghat cirebonnya.
Kyai mahrus itu kalau ngobrol dengan siapapun selalu memakai loghat cirebon, seperti saya ini kan nggak bisa bahasa Kaliwungu, akhirnya itu durbajadug, artinya bahasa Kaliwungu nggak bisa, bahasa brebespun nggak bias. Jadi namanya itu bajadug, campur-campur, tapi campuran bahasa saya itu nggak disengaja, akhirnya saya banayak menggunakan bahasa Indonesia, kyai mahrus juga demikian, kalau berdialog dengan para tamu biasanya memakai bahasa Indonesia, cuma bahasa cirebonnya itu kadang sering ikut ikutan, dalam memaknai kitabpun kadang kyai mahrus itu menggunakan makna cirebonan, Cuma kelebihan beliau sering bil muharroror wat taqrir memakai makna Ay Ay begitu.
   Sebenaranya itu khan halkodi tidak, kalau cerita perjuangan kyai mahrus di Surabaya, kyai Mahrus dengan Bung Karno, saya itu ngerti Cuma rowinya itu yang sudah meninggal dunia semua, bagi saya itu mushohah namun bagi keluarga lirboyo itu bagaimana? Kalau yang saya dengar, mungkin nggak ada masalah seperti sejarah dan peristiwa di jaman belanda dan jepang, sebab itu yang sering saya ceritakan ketika ngaji pasaran.
Meski saya orang yang dekat dengan kyai mahrus bukan berarti saya mengganggap diri saya itu adalah orang yang terdekat, kalau boleh menilai, saya itu santri seniorlah he he (tertawa), sering saya di nasihati, juga sering di seneni (di marahi), tapi semua itu saya anggap sebagai nasihat. Bagaimana lagi, wong Mbah Juki dan Kyai Mahrus mempertahankan Pondok Kaliwungu ____ Mbah Juki dan Kyai Mahrus sama-sama sudah meninggal dunia, mereka berdua sama-sama meneruskan perjuangan mbah manab, sebab saat Mbah Manab menikah dengan Nyai Dlomroh umurnya sudah 55 tahun.

Referensi sejarah

Seharusnya cerita tantang kyai mahrus itu dari Gus Mus sebab Kyai Mahrus itu kan pernah mondok di Rembang, sebab Gus Mus itu tahu banyak tentang cerita Kyai Mahrus seperti cerita ada bal-balan batu duri di Rembang, katanya kyai Mahrus juga pernah ikut, kalau ingin yang lebih jelas lagi, ya tanyakan ke Gus Mus, juga ada cerita Kyai Mahrus yang ikut perang ke Surabaya yang di kawal oleh kyai Miftah yang berasal dari tegal, beliau mondok lama di Lirboyo sekitar 18 tahunan, saya sebenarnya punya cerita itu cuma rowinya sudah meninggal dunia semua, iyah kalau sejarahnya sesuai dengan cerita yang beredar di keluarga Lirboyo, lha kalau tidak?
Saya punya banyak cerita tentang kyai Mahrus seperti sepeda beliau yang pernah jatuh ke sungai pada jaman agresi, mbah Kyai Mahrus sering datang ke Surabaya dan lain sebagainya. Maka dari itu ketika Mbah Kyai Hasyim di Tanya oleh Bung Tomo, kapan mulai agresi Kyai? Kyai Hasyim menjawab, tunggu murid saya, yang di maksud murid saya itu adalah Kyai Abbas dari Buntet dan orang Lirboyo yang sama-sama dari Cirebon, tapi cerita yang semacam itu Khan rowinya masih samar-samar, padahal pada jaman dulu cerita itu sangat masyhur di Lirboyo, dan orang yang ikut perang ke gunung klotok itu salah satunya adalah Ali Sibromalisi (sekarang sudah wafat) yang berasal dari Karang Sumbung Cirebon, dia itu termasuk misannya Kyai Mahrus.
Maka para pejabat dan Bung Karno sendirilah yang sebenarnya banyak tahu tentang sejarahnya Kyai mahrus, tidak heran jika Bung Karno selalu menghormati para Kyai sebab melihat perjuangan mereka yang begitu besar terhadap Bangsa ini, saya sedikit banyak mengerti cerita-cerita tersebut, bisa saja saya teruskan kalau rowinya dianggap mushohah, lha kalau tidak?
Seandainya Ki Abu Sujak masih hidup, saya akan sangat senang jika referensi sejarah ini di ambil dari beliau, sebab Ki Abu Sujak itu merupakan sahabat dekatnya Kyai Mahrus sewaktu mondok di Rembang.
Mengenang sedkit tentang Kyai Maimun Zuber, yang saya tahu, beliau itu satu kelas dengan Gus Ali Bakar (Jamsaren Kediri) yang dikemudian hari melanjutkan studinya di Sarang Rembang. Kalau tidak salah setelah Gus Ali Bakar meninggal dunia, istrinya di nikah oleh Pak Ilham Nadzir,  Gus Ali Bakar itu termasuk pelopor berdirinya UIT TRIBAKTI Kediri, kalau boleh dibilang, yang menjadi tangan kanannya Kyai Mahrus adalah Gus Ali Bakar itu, beliau juga pernah menjadi ketua Madrasah di Lirboyo yang saat itu (tahun 50-an) lurah pondoknya masih dipegang oleh pak Iskandar ayahnya Muhaimin yang menjadi mantu cucunya Kyai Bisri Samsuri (Jombang), Muhaimin itu pernah jadi ketua umum PKB.
Referensi sejarah itu seharusnya di ambil dari Gus Mus. Sebab meski Gus Mus tidak tahu percis tentang Kyai Mahrus di Rembang, tapi dia sedikit banyak mengetahui sepak terjang Kyai Mahrus sewaktu mondok di Kasingan Rembang saat berguru ke Kyai Kholil sepuh. Sebab Kyai Kholil sepuh itu tak lain mertuanya kyai Bisri Mushtofa, jadi kyai Kholil Kasingan itu kakeknya Gus Mus, nah Kyai Kholil Kasingan itu asalnya dari Sarang, maka tidak heran jika Gus Mus itu masih ada hubungan familil dengan kyai Maimun Zuber.
Satu lagi kenangan yang saya dapat dari Kyai Marjuki, saya mengaji kitab tafsir jalalin ke beliau di emperan mesjid, jam enam pagi setelah jamaah shubuh. Kalau mengaji ke beliau kitab saya pati bisa di absahi sebab ngajinya itu pelan, sedangkan saya kalau mengaji kitab ke kyai mahrus itu di dalam rumah beliau. Itulah sekelumit kenangan kecil yang saya dapat dari lirboyo.

Post a Comment

0 Comments