Nazar Abdul Mutholib
Tepat dibulan Jumadil Awal empat puluh tahun sebelum Bi'tsah, kota Makkah digegerkan dengan sebuah peristiwa besar. Abdul Muthalib tengah mengajak kesepuluh puteranya menuju ke pelataran Ka'bah. Mereka ialah al-Harits, Zubair, Abu thalib, Abulahab, Ghaidag, Dhirar, ’Abbas, ’Abdu al-Ka’bah, Qatsam, dan yang terakhir adalah Abdullah yang kesemuanya merupakan hasil dari pernikahan antara Abdul Muthalib dengan seorang wanita bernama Fatimah binti 'Amr bin Aidy bin Imran bin Makzum bin Yaqzhah bin Murrah bin Kilab. Maksud kedatangan Abdul Muthalib mengumpulkan sepuluh putranya ke rumah suci itu adalah untuk melaksanakan nadzar yang pernah beliau ucapkan pada saat menggali sumur Zamzam. Kakek pertama Rasulullah itu telah bernadzar apabila telah memiliki sepuluh anak laki-laki, maka dia akan menyembelih salah satunya sebagai qurban persembahan untuk ka’bah.
Jauh sebelum itu, tepatnya ketika Abdul Muthalib hanya memilikai seorang purta bernama Harits, dia bermimpi ditemui oleh seseorang laki-laki.Dalam mimpinya, laki-laki itu memerintahkan untuk menggali kembali sumur zamzam yang sempat ditimbun oleh suku Jurhum, penguasa Makkah sebelum jatuh ke tangan kaum Quraisy. “Galilah at-Thaibah!” Perintahnya dalam mimpi Abdul Muthallib yang pertama. “Aku tidak tahu apa itu Thaibah” Jawab Abdul Muttalib. Setelah menyampaikan pesan yang pertama, laki-laki itu menghilang. Dihari kedua, ia muncul kembali dan mengucapkan sebuah pesan “Galilah Birrah.” “Aku tidak paham apa itu Birrah”. Jawab Abdul Muthalilb untuk ke dua kalinya.
Seperti dalam mimpi pertama, laki-laki itu langsung menghilang sebelum Abd al-Muthallib mampu memahami perintah yang ia ucapkan. Dihari ke tiga dia datang lagi dan memerintahkan untuk menggali suatu tempat berbeda dari yang pertama dan kedua.“Galilah Madnunah.” Perintahnya untuk ketiga kali. “Aku tidak tahu apa itu Madnunah.” Sampai ketiga kalinya Abdul Muthallib masih belum bisa memahami. Dan dihari ke-empat, barulah beliau mengerti yang dimaksudkan oleh orang tersebut. “Galilah Zamzam.” Perintahnya untuk terakhir kalinya dan langsung dimengerti oleh Abdul Muthallib.
Setelah mendapatkan kejelasan inilah beliau penggalian mulai dilakukan. Menurut keterangan laki-laki itu, sumur zamzam kini berada di tengah-tengah antara berhala Ishaf dan Nailah. Tempat yang digunakan untuk menyembelih hewan kurban bagi jamaah haji dimasa jahiliah dan dianggap sebagai tempat suci saat itu. Saat cangkul mulai diayunkan, suara gedebuk yang muncul dari tempat suci itu mengundang perhatian penduduk Makkah. Mereka berduyun-duyun mendatangi sumber suara untuk mengetahui apa yang telah terjadi.
Alangkah terkejutnya penduduk Makkah ketika mendapati Abdul Muthallib dan Harits putera sulungnya, sedang menggali tempat tersebut. Melihat hal itu, beberapa kaum Quraisy hendak mencegahnya. Mereka merasa tempat tersebut adalah tempat yang sakral dan salah satu dari beberapa peninggalan moyang mereka, Isma’il as. Namun, pada akhirnya sumur galian Abdul Muthalib itu lebih dipilih oleh penduduk Makkah untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari dan dipercaya sebagai sumur Zam-zam.
Tak pelak, beliaupun mendapatkan hibah protes keras dari masyarakatnya. Tak ada satupun yang sudi membantu menggali meskipun telah diberitahu bahwa hal itu dilakukan untuk menemukan kembali sumur Zam-zam. Dengan berbekal keyakinan, keduanya melanjutkan penggalian dengan disirami terik mentari yang mengurai cahanya disetiap sudut kota Makkah. Peluh yang mengalir disekujur tubuh tak mereka hiraukan. Rasa lelah yang menginjak-injak semangat tak jadi hambatan bagi Abdaul Muttalib dan putera satu-satunya itu untuk terus menggali.
Menurut riwayat Ibnu Ishaq, Abdul Muthallib tidak memperdulikan kedatangan beberapa orang Quraisy yang hendak mencegahnya menggali sumur tua tak berbekas itu. Dia hanya berkata kepada putranya, Harits, ”Jagalah aku dari gangguan orang-orang ini !” Melihat keseriusan Abdul Muthallib akhirnya orang-orang Quraisy yang semula hendak mencegahnya pergi meniggalkan beliau bersama putranya. Di sela-sela peristiwa itulah kakek Nabi yang memiliki nama asli Syaibah itu berucap nadzar, apabila putra beliau mencapai angka sepuluh, salah satu di antaranya akan beliau persembahkan kepada tuhan ka’bah. Sejarah mencatat bahwa peristiwa penggalian sumur ini terjadi tatkala Abdul Mutholib telah dinobatkan sebagai pemuka kaum Quraisy, dimana berkat buah pemikirannya banyak permasalahan yang dapat teratasi.
Tentang nadzar Abdul Muthalib ini, sebenarnya banyak penduduk Makkah yang telah melupakannya. Namun berbeda dengan Abdul Mutholib, seorang yang begitu bijak dan menjadi pemimpin di kota itu. Nadzar tidaklah berbeda dengan hutang yang harus dilunasi. Terlebih hutang tersebut berkaitan dengan tuhan penguasa Ka’bah yang bersifat vertical-teologis, maka sudah barang pasti harus dipenuhi jika tidak ingin mendapat murka-Nya.
Mendengar kedatangan Abdul Muthallib bersama-sama kesepuluh putranya, penduduk Makkah berbondong- bondong menuju Ka'bah dengan maksud untuk mencegahnya. Namun mereka tidak mampu melakukan semua itu. Mereka hanya bisa gigit jari melihat pemimpin yang begitu mereka segani itu hendak menyembelih seorang putranya dengan tangan beliau sendiri.
Kemudian Abdul Muthalib menjelaskan perihal nadzar ini kepada sepuluh orang puteranya yang telah dewasa. Maka merekapun bertanya, "Wahai ayah, apa yang harus kami lakukan?” Beliau menjawab, "Tulislah nama-nama kalian pada tempat undian!” Merekapun melaksanakan apa yang diperintahkan. Selanjutnya Abdul Muthalib berangkat bersama sepuluh putranya menuju berhala Hubal yang berada di tengah Ka'bah.
Setelah Abdul Muthalib sampai di depan Ka’bah, beliau meminta kepada juru kunci Ka'bah untuk mengocok undian yang berisi nama-nama sepuluh puteranya. Beliau mengadahkan wajah ke langit seraya memohon kepada Tuhan jangan sampai undian jatuh menimpa putra bungsu yang sangat ia sayangi. Akan tetapi, walaupun yang akan menjadi sasaran bumerang nadzar yang pernah terlontar bukan sibungsu, tetap saja beliau harus merenggut nyawa dengan tangannya sendiri salah seorang diantara kesepuluh putranya. Pedih! Itulah kiranya amukan serangan perasaan yang sedang membabi buta menyerbunya. Bagaikan makan buah simala kama, membatalkan Nadzar ia akan mendapatkan murka dari Tuhan. Tetap bersikukuh melaksanakannya, beliau harus menebaskan pedang dileher salah satu darah dagingnya yang hal tersebut pasti akan sangat menyakitkan dan terus dihantui rasa bersalah.
Dimulailah undian itu oleh sang juru kunci. Tanpa beliau duga, ternyata yang keluar dari hasil undian itu adalah Abdullah, sibungsu kesayangannya. Sungguh seandainya yang terpilih bukan Abdullah maka beliau berniat untuk mengadakan pesta.
Nadzar telah terucapkan, undian juga telah keluar. Tibalah detik- detik mendebarkan itu. Abdullah dituntun menuju suatu tempat di dekat sumur Zam-zam, tepatnya di antara berhala Isaf dan Nailah untuk disembelih di sana. Penduduk Makkah yang hadir di tempat tersebut tidak sampai hati melihat pertunjukan yang membuat hati miris dengan hanya membayangkanya. Namun mereka tidak tahu harus dengan cara apa untuk menggagalkanya. Sebagian mereka memberanikan diri menghampiri Abdul Muthallib dan bertanya kepadanya ”Wahai Abdul Muthalib, apa sebenarnya yang akan anda lakukan?" Beliau menjawab," Memenuhi nadzarku!” Sekonyong- konyong mereka berkata, "Tidak, anda tidak boleh membunuh putra sendiri. Kalau anda tetap lakukan, niscaya orang- orang Arab setelah anda akan membunuh anak mereka. Bagaimanakah kalau hal itu nantinya akan menjadi kebiasaan bangsa Arab?"
Di tengah-tengah ketegangan itu, tiba-tiba Al-Mughirah bin Abdullah bin Amr al-Makhzumi, salah seorang pembesar Quraisy menerobos kerumunan orang-orang yang kerepotan mecegah tindakan Abdul Muthallib. Lalu dia segera menahan tangan Abdul Muthallib seraya berteriak "Demi Allah, janganlah sekali-kali menyembelih putera anda sendiri apapun alasannya. Kalau memang harus ditebus dengan harta, kami bersedia mengumpulkan harta untuk keperluan itu". Yang lainnya menyambung "Hai Abdul Muthallib, temuilah seorang dukun wanita didaerah Hijaz yang memiliki pembantu dari bangsa jin, mintalah keputusan kepadanya, jika memang keputusan yang diambil adalah harus menyembelih Abdullah, maka sembelihlah. Dan kalau dia memberikan solusi yang lain maka terimalah saran itu."
Sekuat apapun pendirian Abdul Muthallib tetap tidak bisa dipungkiri bahwa di dalam hati nuraninya, dia sangat menyayangi putra bungsunya itu. Dia sangat berharap hal ini tidak akan terjadi pada putra kesayangannya namun apalah daya jika Tuhan berkehendak lain. Setelah mendengar saran dari orang-orang yang memprotes tindakkannya, dia mulai mau berfikir ulang dan sedikit menggoyakan pendiriannya. Setelah Abdul Muthallib berfikir dan menimbang saran itu secara matang-matang akhirnya dia memutuskan untuk menerima dan melaksanakan saran itu. Berangkatlah Abdul Muthalib bersama sebagian kaum Quraisy menuju Hijaz. Setelah menemukan wanita yang dimaksud, mereka menyuruh Abdul Muthallib untuk menceritakan apa yang beliau alami dan bertanya apa yang harus dilakukan.
Wanita itu berkata, "Pergilah Kalian! dan kembalilah besok, aku akan bertanya dulu pada jinku". Mendengar perintahnya lantas Mereka pergi meninggalkan dukun wanita itu. Selama dalam perjalanan Abdul Muthalib selalu berdoa pada Allah sambil berkata:
Artinya : "Wahai Allah tuhanku, jangan engkau wujudkan apa yang aku khawatirkan, dan jauhkanlah dia (Abdullah) dari segala kejelekan yang aku khawatirkan ini # sesungguhnya aku berharap agar anakku ini dapat menjadi pemimpin para manusia "
Keesokan harinya mereka mendatangi wanita itu lagi. "Aku telah telah mendapatkan berita dari jinku. Berapakah diyyat di daerah kalian?" Dukun itu memulai pembicaraan. "sepuluh ekor unta" jawab mereka. "Pulanglah kalian dan persembahkanlah anak kalian(Abdullah) dan sepuluh onta lalu undilah keduanya, jika undian jatuh pada anak kalian maka tambahilah onta persembahan hingga tuhan memberikan Ridla-Nya, namun jika undian jatuh pada onta maka sembelihlah sebab Tuhan telah menghendaki keselamatan anak itu!”
Setelah mendapatkan saran dari dukun wanita tersebut, akhirnya mereka kembali ke Makkah. Begitu sampai di Makkah, mereka segera melaksanakan undian sesuai perintah dari dukun itu. undian pertama jatuh pada Abdullah sehingga mereka menambah sepuluh onta sebagai persembahan. Hal ini terus terjadi hingga sampai sepuluh kali, hingga jumlah onta persembahan mencapai seratus ekor. Pada saat undian dilakukan untuk yang kesebelas kalinya maka jatuhlah undian tersebut untuk menyembelih onta sehingga merekapun gembira dan berkata pada Abdul Muthalib. “Wahai Abdul Muthalib , sesungguhnya Tuhanmu telah Ridla” Beliau menjawab “Demi allah, aku belum bisa meyakini hal itu sebelum kita lakukan tiga kali lagi”. Namun setelah dilakukan undian lagi ternyata hasilnya tetap sama yaitu menyembelih onta. Penyembelihan ontapun di laksakan dan disedekahkan kepada siapapun baik manusia ataupun binatang.
Sumber tulisan:
Buku "Lentera Kegelapan"
Sejarah Kehidupan Nabi Muhammad Saw
Tepat dibulan Jumadil Awal empat puluh tahun sebelum Bi'tsah, kota Makkah digegerkan dengan sebuah peristiwa besar. Abdul Muthalib tengah mengajak kesepuluh puteranya menuju ke pelataran Ka'bah. Mereka ialah al-Harits, Zubair, Abu thalib, Abulahab, Ghaidag, Dhirar, ’Abbas, ’Abdu al-Ka’bah, Qatsam, dan yang terakhir adalah Abdullah yang kesemuanya merupakan hasil dari pernikahan antara Abdul Muthalib dengan seorang wanita bernama Fatimah binti 'Amr bin Aidy bin Imran bin Makzum bin Yaqzhah bin Murrah bin Kilab. Maksud kedatangan Abdul Muthalib mengumpulkan sepuluh putranya ke rumah suci itu adalah untuk melaksanakan nadzar yang pernah beliau ucapkan pada saat menggali sumur Zamzam. Kakek pertama Rasulullah itu telah bernadzar apabila telah memiliki sepuluh anak laki-laki, maka dia akan menyembelih salah satunya sebagai qurban persembahan untuk ka’bah.
Jauh sebelum itu, tepatnya ketika Abdul Muthalib hanya memilikai seorang purta bernama Harits, dia bermimpi ditemui oleh seseorang laki-laki.Dalam mimpinya, laki-laki itu memerintahkan untuk menggali kembali sumur zamzam yang sempat ditimbun oleh suku Jurhum, penguasa Makkah sebelum jatuh ke tangan kaum Quraisy. “Galilah at-Thaibah!” Perintahnya dalam mimpi Abdul Muthallib yang pertama. “Aku tidak tahu apa itu Thaibah” Jawab Abdul Muttalib. Setelah menyampaikan pesan yang pertama, laki-laki itu menghilang. Dihari kedua, ia muncul kembali dan mengucapkan sebuah pesan “Galilah Birrah.” “Aku tidak paham apa itu Birrah”. Jawab Abdul Muthalilb untuk ke dua kalinya.
Seperti dalam mimpi pertama, laki-laki itu langsung menghilang sebelum Abd al-Muthallib mampu memahami perintah yang ia ucapkan. Dihari ke tiga dia datang lagi dan memerintahkan untuk menggali suatu tempat berbeda dari yang pertama dan kedua.“Galilah Madnunah.” Perintahnya untuk ketiga kali. “Aku tidak tahu apa itu Madnunah.” Sampai ketiga kalinya Abdul Muthallib masih belum bisa memahami. Dan dihari ke-empat, barulah beliau mengerti yang dimaksudkan oleh orang tersebut. “Galilah Zamzam.” Perintahnya untuk terakhir kalinya dan langsung dimengerti oleh Abdul Muthallib.
Setelah mendapatkan kejelasan inilah beliau penggalian mulai dilakukan. Menurut keterangan laki-laki itu, sumur zamzam kini berada di tengah-tengah antara berhala Ishaf dan Nailah. Tempat yang digunakan untuk menyembelih hewan kurban bagi jamaah haji dimasa jahiliah dan dianggap sebagai tempat suci saat itu. Saat cangkul mulai diayunkan, suara gedebuk yang muncul dari tempat suci itu mengundang perhatian penduduk Makkah. Mereka berduyun-duyun mendatangi sumber suara untuk mengetahui apa yang telah terjadi.
Alangkah terkejutnya penduduk Makkah ketika mendapati Abdul Muthallib dan Harits putera sulungnya, sedang menggali tempat tersebut. Melihat hal itu, beberapa kaum Quraisy hendak mencegahnya. Mereka merasa tempat tersebut adalah tempat yang sakral dan salah satu dari beberapa peninggalan moyang mereka, Isma’il as. Namun, pada akhirnya sumur galian Abdul Muthalib itu lebih dipilih oleh penduduk Makkah untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari dan dipercaya sebagai sumur Zam-zam.
Tak pelak, beliaupun mendapatkan hibah protes keras dari masyarakatnya. Tak ada satupun yang sudi membantu menggali meskipun telah diberitahu bahwa hal itu dilakukan untuk menemukan kembali sumur Zam-zam. Dengan berbekal keyakinan, keduanya melanjutkan penggalian dengan disirami terik mentari yang mengurai cahanya disetiap sudut kota Makkah. Peluh yang mengalir disekujur tubuh tak mereka hiraukan. Rasa lelah yang menginjak-injak semangat tak jadi hambatan bagi Abdaul Muttalib dan putera satu-satunya itu untuk terus menggali.
Menurut riwayat Ibnu Ishaq, Abdul Muthallib tidak memperdulikan kedatangan beberapa orang Quraisy yang hendak mencegahnya menggali sumur tua tak berbekas itu. Dia hanya berkata kepada putranya, Harits, ”Jagalah aku dari gangguan orang-orang ini !” Melihat keseriusan Abdul Muthallib akhirnya orang-orang Quraisy yang semula hendak mencegahnya pergi meniggalkan beliau bersama putranya. Di sela-sela peristiwa itulah kakek Nabi yang memiliki nama asli Syaibah itu berucap nadzar, apabila putra beliau mencapai angka sepuluh, salah satu di antaranya akan beliau persembahkan kepada tuhan ka’bah. Sejarah mencatat bahwa peristiwa penggalian sumur ini terjadi tatkala Abdul Mutholib telah dinobatkan sebagai pemuka kaum Quraisy, dimana berkat buah pemikirannya banyak permasalahan yang dapat teratasi.
Tentang nadzar Abdul Muthalib ini, sebenarnya banyak penduduk Makkah yang telah melupakannya. Namun berbeda dengan Abdul Mutholib, seorang yang begitu bijak dan menjadi pemimpin di kota itu. Nadzar tidaklah berbeda dengan hutang yang harus dilunasi. Terlebih hutang tersebut berkaitan dengan tuhan penguasa Ka’bah yang bersifat vertical-teologis, maka sudah barang pasti harus dipenuhi jika tidak ingin mendapat murka-Nya.
Mendengar kedatangan Abdul Muthallib bersama-sama kesepuluh putranya, penduduk Makkah berbondong- bondong menuju Ka'bah dengan maksud untuk mencegahnya. Namun mereka tidak mampu melakukan semua itu. Mereka hanya bisa gigit jari melihat pemimpin yang begitu mereka segani itu hendak menyembelih seorang putranya dengan tangan beliau sendiri.
Kemudian Abdul Muthalib menjelaskan perihal nadzar ini kepada sepuluh orang puteranya yang telah dewasa. Maka merekapun bertanya, "Wahai ayah, apa yang harus kami lakukan?” Beliau menjawab, "Tulislah nama-nama kalian pada tempat undian!” Merekapun melaksanakan apa yang diperintahkan. Selanjutnya Abdul Muthalib berangkat bersama sepuluh putranya menuju berhala Hubal yang berada di tengah Ka'bah.
Setelah Abdul Muthalib sampai di depan Ka’bah, beliau meminta kepada juru kunci Ka'bah untuk mengocok undian yang berisi nama-nama sepuluh puteranya. Beliau mengadahkan wajah ke langit seraya memohon kepada Tuhan jangan sampai undian jatuh menimpa putra bungsu yang sangat ia sayangi. Akan tetapi, walaupun yang akan menjadi sasaran bumerang nadzar yang pernah terlontar bukan sibungsu, tetap saja beliau harus merenggut nyawa dengan tangannya sendiri salah seorang diantara kesepuluh putranya. Pedih! Itulah kiranya amukan serangan perasaan yang sedang membabi buta menyerbunya. Bagaikan makan buah simala kama, membatalkan Nadzar ia akan mendapatkan murka dari Tuhan. Tetap bersikukuh melaksanakannya, beliau harus menebaskan pedang dileher salah satu darah dagingnya yang hal tersebut pasti akan sangat menyakitkan dan terus dihantui rasa bersalah.
Dimulailah undian itu oleh sang juru kunci. Tanpa beliau duga, ternyata yang keluar dari hasil undian itu adalah Abdullah, sibungsu kesayangannya. Sungguh seandainya yang terpilih bukan Abdullah maka beliau berniat untuk mengadakan pesta.
Nadzar telah terucapkan, undian juga telah keluar. Tibalah detik- detik mendebarkan itu. Abdullah dituntun menuju suatu tempat di dekat sumur Zam-zam, tepatnya di antara berhala Isaf dan Nailah untuk disembelih di sana. Penduduk Makkah yang hadir di tempat tersebut tidak sampai hati melihat pertunjukan yang membuat hati miris dengan hanya membayangkanya. Namun mereka tidak tahu harus dengan cara apa untuk menggagalkanya. Sebagian mereka memberanikan diri menghampiri Abdul Muthallib dan bertanya kepadanya ”Wahai Abdul Muthalib, apa sebenarnya yang akan anda lakukan?" Beliau menjawab," Memenuhi nadzarku!” Sekonyong- konyong mereka berkata, "Tidak, anda tidak boleh membunuh putra sendiri. Kalau anda tetap lakukan, niscaya orang- orang Arab setelah anda akan membunuh anak mereka. Bagaimanakah kalau hal itu nantinya akan menjadi kebiasaan bangsa Arab?"
Di tengah-tengah ketegangan itu, tiba-tiba Al-Mughirah bin Abdullah bin Amr al-Makhzumi, salah seorang pembesar Quraisy menerobos kerumunan orang-orang yang kerepotan mecegah tindakan Abdul Muthallib. Lalu dia segera menahan tangan Abdul Muthallib seraya berteriak "Demi Allah, janganlah sekali-kali menyembelih putera anda sendiri apapun alasannya. Kalau memang harus ditebus dengan harta, kami bersedia mengumpulkan harta untuk keperluan itu". Yang lainnya menyambung "Hai Abdul Muthallib, temuilah seorang dukun wanita didaerah Hijaz yang memiliki pembantu dari bangsa jin, mintalah keputusan kepadanya, jika memang keputusan yang diambil adalah harus menyembelih Abdullah, maka sembelihlah. Dan kalau dia memberikan solusi yang lain maka terimalah saran itu."
Sekuat apapun pendirian Abdul Muthallib tetap tidak bisa dipungkiri bahwa di dalam hati nuraninya, dia sangat menyayangi putra bungsunya itu. Dia sangat berharap hal ini tidak akan terjadi pada putra kesayangannya namun apalah daya jika Tuhan berkehendak lain. Setelah mendengar saran dari orang-orang yang memprotes tindakkannya, dia mulai mau berfikir ulang dan sedikit menggoyakan pendiriannya. Setelah Abdul Muthallib berfikir dan menimbang saran itu secara matang-matang akhirnya dia memutuskan untuk menerima dan melaksanakan saran itu. Berangkatlah Abdul Muthalib bersama sebagian kaum Quraisy menuju Hijaz. Setelah menemukan wanita yang dimaksud, mereka menyuruh Abdul Muthallib untuk menceritakan apa yang beliau alami dan bertanya apa yang harus dilakukan.
Wanita itu berkata, "Pergilah Kalian! dan kembalilah besok, aku akan bertanya dulu pada jinku". Mendengar perintahnya lantas Mereka pergi meninggalkan dukun wanita itu. Selama dalam perjalanan Abdul Muthalib selalu berdoa pada Allah sambil berkata:
Artinya : "Wahai Allah tuhanku, jangan engkau wujudkan apa yang aku khawatirkan, dan jauhkanlah dia (Abdullah) dari segala kejelekan yang aku khawatirkan ini # sesungguhnya aku berharap agar anakku ini dapat menjadi pemimpin para manusia "
Keesokan harinya mereka mendatangi wanita itu lagi. "Aku telah telah mendapatkan berita dari jinku. Berapakah diyyat di daerah kalian?" Dukun itu memulai pembicaraan. "sepuluh ekor unta" jawab mereka. "Pulanglah kalian dan persembahkanlah anak kalian(Abdullah) dan sepuluh onta lalu undilah keduanya, jika undian jatuh pada anak kalian maka tambahilah onta persembahan hingga tuhan memberikan Ridla-Nya, namun jika undian jatuh pada onta maka sembelihlah sebab Tuhan telah menghendaki keselamatan anak itu!”
Setelah mendapatkan saran dari dukun wanita tersebut, akhirnya mereka kembali ke Makkah. Begitu sampai di Makkah, mereka segera melaksanakan undian sesuai perintah dari dukun itu. undian pertama jatuh pada Abdullah sehingga mereka menambah sepuluh onta sebagai persembahan. Hal ini terus terjadi hingga sampai sepuluh kali, hingga jumlah onta persembahan mencapai seratus ekor. Pada saat undian dilakukan untuk yang kesebelas kalinya maka jatuhlah undian tersebut untuk menyembelih onta sehingga merekapun gembira dan berkata pada Abdul Muthalib. “Wahai Abdul Muthalib , sesungguhnya Tuhanmu telah Ridla” Beliau menjawab “Demi allah, aku belum bisa meyakini hal itu sebelum kita lakukan tiga kali lagi”. Namun setelah dilakukan undian lagi ternyata hasilnya tetap sama yaitu menyembelih onta. Penyembelihan ontapun di laksakan dan disedekahkan kepada siapapun baik manusia ataupun binatang.
Sumber tulisan:
Buku "Lentera Kegelapan"
Sejarah Kehidupan Nabi Muhammad Saw
Karya Legendaris Siswa Tamatan Gerbang Lama Lirboyo 2010
0 Comments