F What Is Ijtihad? Memahami Ijtihad Dengan Problematikanya

What Is Ijtihad? Memahami Ijtihad Dengan Problematikanya

Devinisi Ijtihad

Ijtihad berasal dari kata al-juhd atau al-jahd, versi etimologinya diartikan at-thaqat (kesanggupan dan kemampuan) atau al-masyaqat (kesulitan, kesusahan). Versi istilah, ijtihad adalah mengerahkan segala kemampuan guna menghasilkan dhan (pengetahuan yang bersifat asumtif) terhadap suatu hukum. Versi lain mengatakan, ijtihad adalah usaha penggalian hukum yang tidak dijelaskan dalam nash sharih yang mengandung satu makna. Sedangkan pelaku ijtihad disebut dengan mujtahid.


Sejarah Ijtihad

Ijtihad sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw, saat sahabat  Mu’adz ibn Jabal  akan diutus ke negara Yaman menjadi hakim, Rasulullah Saw bertanya: "Dengan apa engkau menuturkan suatu perkara yang diadukan kepadamu?", Mu'adz menjawab: "Dengan hukum yang tertera dalam Kitabullah". Rasulullah bertanya lagi "Jika engkau tidak menemukan dalam Kitabullah?", Muadz menjawab: "Aku akan menghukumi dengan keputusan-keputusan Rasulullah" Rasulullah  terus bertanya: "Jika kamu tidak mendapatkan keputusan Rasulullah?", Muadz menjawab: "Aku akan berijtihad dengan pendapatku (dengan kemampuan berfikirku)". (HR. al-Darimi)

Kisah lain tentang ijtihad terjadi saat Rasulullah dihadapkan pada tawanan perang Badar. Rasul meminta pendapat para sahabat, hukuman apa yang pantas diganjar kepada mereka?.

Muncul berbagai pandangan dari para sahabat, Abu Bakar berpendapat agar mereka dibiarkan hidup dengan dibebani pajak keamanan. Abu Bakar berharap mereka mau bertaubat sehingga dapat menunjang kekuatan kaum muslimin dalam melawan kekufuran.

Umar berpandangan lain, menurut Umar, para tawanan adalah orang-orang yang memusuhi islam dan Rasulullah. Karena itu, sebagai imbalannya mereka harus dibunuh. Lebih dari itu, Ibnu Rawahah berpendapat bahwa mereka seharusnya dibakar dalam kobaran api yang membara, mereka tidak pantas diberi ampun.

Rasulullah Berlalu begitu saja setelah mendengar pendapat para sahabat itu. Ribuan pertanyaan mendekam di benak para sahabat. Pendapat siapakah yang dipilih dan disetujui oleh Rasulullah?Kemudian Rasulullah datang dan bersabda: "Hari ini kalian dalam keadaan miskin, maka salah satu dari para tawanan sama sekali tidak boleh dilepaskan kecuali telah membayar tebusan atau dipotong lehernya."

Keesokan harinya sahabat Umar mengunjungi Rasulullah yang pada saat itu sedang bersama Abu Bakar. Umar melihat butir-butir air mata mengalir membasahi pipi mereka berdua.

Umar bertanya Kenapa kalian menangis? Rasulullah menjawab: "Aku menangis karena para sahabatku telah mengambil tebusan (karena ijtihad beliau) dari para tawanan, padahal telah dijelaskan bagiku bahwa hampir saja adzab turun pada mereka".

Kebijakan Rasulullah agar tidak melepaskan tawanan perang kecuali dengan membayar tebusan merupakan keputusan hasil ijtihad. Rasulullah mempertimbangkan keadaan kaum muslimin yang saat itu mengalami kesulitan hidup (miskin). Oleh karenanya, Allah swt menegur Rasulullah atas keputusan yang diambilnya, firman Allah:

"Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi, sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil."  (QS. Al-Anfal; 67-68)

Sepeninggal Rasulullah, para sahabat kemudian memberi fatwa sesuai pandangan dan pemahaman mereka terhadap kitabullah dan sunah Rasulullah. Namun, jumlah mereka tak lebih dari hitungan jari.

Seiring perkembangan jaman, masalah yang bermunculan pun semakin variatif. Ijtihad sangat diperlukan guna merekontruksi metodologi baru yang belum ada pada generasi sebelumnya. Para tabi'in, tabi'i at-tabi'in, dan generasi berikutnya melakukan ijtihad guna mengaktualisasikan masalah-masalah baru yang kian menggeliat.


Empat Madzhab

Dalam menggali hukum dari sumber-sumbernya, tiap-tiap Mujtahid memiliki metodolodi yang berbeda. Perbedaan metodologi ini memunculkan beragam madzhab dalam menganalisa kasus suatu hukum. Sejak Rasulullah Saw hingga kurun-kurun setelahnya sangat beragam madzhab yang bermunculan dengan metodologi penggalian hukum yang berbeda.

Namun, hingga saat ini madzhab yang diakui dan diikuti oleh kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah hanya empat saja. Yakni madzhab Imam Syafi'i, Imam Maliki, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad ibn Hanbal.

Sebenarnya jumlah mujtahid yang bermunculan sangat banyak. Namun diantara sekian banyak madzhab yang ada, hanya empat madzhab inilah yang diakui validitas data dan periwayatannya. Sehingga kebenaran mereka dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah.

Disamping metodologi keempat madzhab ini dalam penggalian hukumnya sangat tertata rapi. Madzhab-madzhab lain, meski sebenarnya dimotori oleh imam-imam yang ‘alim dan memiliki hasil rumusan hukum kuat. Namun konsep dan kontribusi ijtihad mereka tidak terkodifikasi (terbukukan) secara sistematis. Hal ini tak lain karena para penerus madzhab mereka kurang begitu perhatian terhadap pentingnya pembukuan agar bisa dilanjutkan oleh generasi berikutnya.

Kekurangan dan kelemahan tersebut mengakibatkan madzhab-madzhab yang lain lapuk ditelan masa, terkikis dimakan zaman. Madzhab mereka tidak diikuti karena khawatir ada pembohongan hukum dari para pengikutnya yang dinisbatkan kepada imam madzhab.

Dalam Majmu'ah Sab'ah al-Kutub al-Mufidah, Sayyid Alwi ibn Ahmad as-Segaf mengutip pernyataan ashhabuna (ulama ahlussunnah) bahwa hukum yang mengikuti selain empat madzhab di atas tidak diperbolehkan dengan alasan sebagaimana di atas.


Dalil-Dalil Ijtihad

Dalil pelaksanaan ijtihad sangat banyak, baik dengan pernyataan yang jelas (shorih) maupun berdasarkan isyarat. Diantara firman Allah swt;

"Sesungguhnya kami telah menurunkan al-kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang Allah wahyukan kepadamu." (QS. An-Nisa'; 105)

Dalam ayat lain, Allah berfirman:

"Sesungguhnya yang pada demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang befikir." (QS. Ar-Rum; 21)

Dalil-dalil dari hadits Rasulullah saw diantaranya:

عن أبي قيس مولى عمرو بن العاص عن عمرو بن العاص أَنـَّهُ سَمِعَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يـَقُولُ إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتـَهَدَ ثـُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثـُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ

"Dari 'Amr bin al-'Ash bahwasanya dia mendengar Rasulullah saw bersabda: Jika seorang hakim menghukumi dengan berijtihad kemudian benar, maka baginya dua pahala dan jika ia menghukumi dengan berijtihad dan ternyata salah, maka baginya satu pahala."  (HR. Bukhori dan Muslim)

Hadits yang menceritakan kisah Mu'adz ibn Jabal saat diutus ke negara Yaman dan kisah Rasulullah menangani tawanan perang Badar juga menjadi dalil legalitas pelaksanaan ijtihad.


Sumber Ijtihad

Sumber hukum yang digunakan para mujtahid adalah firman Allah swt:

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul-Nya (as-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". (QS. An-Nisa’; 59)

Abdul Wahab Khalaf menafsirkan ayat di atas sebagai perintah sekaligus penjelasan sumber-sumber pengambilan hukum dalam ijthad. Kata perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya menunjukkan pada Al-Qur`an dan Al-hadits, sedangkan kata Ulil Amri menunjukkan pada ijma' (konsensus: kesepakatan ulama), sedangkan kata perintah kembali kepada Allah dan Rasul-Nya menunjukkan pada konsep qiyas yang menjadi alternatif terakhir setelah ketiga sumber ijtihad sebelumnya.

Sebenarnya masih ada enam sumber hukum lain yang dipergunakan dalam ijtihad. Akan tetapi, dalam penggunaannya masih diperselisihkan oleh para ulama’ (mukhtalaf). Diantaranya:

Istihsan (anggapan baik terhadap suatu perkara)

Maslahah Mursalah (nilai positif yang tidak bertentangan dengan hukum syar'i)

‘Urf (kebiasaan yang tidak bertentangan dengan hukum syar’i)

Istishhab (konsistensi hukum yang baru terhadap hukum yang sudah berlaku)

Syar’ man qoblana (syari’at kaum-kaum sebelum Nabi Muhammad saw)

Madzhab ash-Shohabiy (pendapat para sahabat Nabi Muhammad saw)



Syarat-Syarat Menjadi Mujtahid 

Mau jadi mujtahid? Nanti dulu, karena kemampuan seseorang dalam memahami dan mendalami al-Qur'an, hadits, serta sumber-sumber ijtihad lainnya tidaklah sama. Oleh karena itu setidaknya seorang mujtahid harus memiliki kapasitas yang membumi dalam beberapa aspek keilmuan. Diantaranya;

Menguasai bahasa arab

Menguasai ilmu al-Qur'an

Menguasai ilmu al-Hadits

Mengetahui hukum-hukum ijma’ dan khilaf

Mengetahui qiyas

Mengetahui maqoshid al-ahkam (tujuan utama pemberlakuan hukum islam)    

Intelektualitas yang baik dan benar

Memiliki niat yang baik dan i’tiqod yang benar

Melihat persyaratan mujtahid yang begitu ketat, hampir dipastikan bahwa pada masa sekarang tidak ada seorangpun yang mampu menjadi seorang mujahid, meski menurut sebagian ulama pintu ijtihad tidak pernah tertutup.

Jika persoalan ijtihad dipegang oleh orang yang tidak berkompeten dan tidak memiliki syarat muthlak mujtahid, maka dikhawatirkan dikemudian hari akan menimbulkan berbagai kerancuan dalam merumuskan hukum syari'at.

Rasulullah bersabda:

إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ

"Ketika suatu perkara dipasrahkan kepada selain ahlinya, maka tunggulah saatnya (kehancuran)." (HR. Bukhori)

Sebagai contoh, hadits riwayat Abu Dawud mengisahkan seorang pemuda yang mengalami luka yang amat serius di bagian kepala. Pada malam yang amat dingin ia malah berhadats besar. Tentu sangat berat baginya untuk melakukan mandi wajib.  Tidur berselimut saja serasa berendam di kolam es. Lebih-lebih luka kepalanya terasa begitu sakit.

Pemuda itu mencoba mencari solusi dengan bertanya kepada kaum muslimin. Namun, mereka tetap menyuruhnya untuk mandi meski kondisi kepalanya amat parah. Ia pun mandi demi melakukan kewajiban sesuai saran yang didapat. Namun, dinginnya air yang mengguyur tubuh semakin membuat deritanya kian berat, akhirnya ia meninggal dunia.

Kasus kematian pemuda itu sampai kepada Rasulullah berikut kronologi kejadiannya. Mendengar kabar tersebut, Rasulullah sangat menyayangkan dan mencaci sikap kaum muslimin yang gegabah dalam memberi fatwa. Mengapa mereka tidak mau bertanya terlebih dahulu jika mereka tidak tahu?. Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya sudah cukup baginya bertayammum dan membalut lukanya dengan kain, lalu mengusap kain tersebut dan membasuh anggota tubuhnya yang lain."

Seandainya ijtihad dapat dilakukan oleh setiap orang Islam, tentu Rasulullah tidak akan mencela kaum muslimin yang telah memberikan fatwa 'sembarangan' sehingga menyebabkan kematian seseorang.



Metode Ijtihad


Metodologi ijtihad terbagi menjadi dua;

Pertama, Ijtihad dengan metode Istinbath al-Ahkam asy-Syar’iyyah, yakni ijtihad yang secara khusus menggali hukum-hukum syari'at. Ijtihad semacam ini hanya tertentu bagi kalangan ulama yang mampu dan berupaya mengetahui hukum-hukum furu’ dari nash (adillah tafshiliyah). Menurut mayoritas ulama’ ijtihad semacam ini telah berakhir, karena terbukti hingga hari ini tidak ada lagi yang mampu melakukannya.

Kedua, Ijtihad dengan model Tathbiq al-Ahkam asy-Syar’iyyah yaitu ijtihad yang secara khusus menerapkan hukum-hukum yang telah digali oleh para mujtahid terdahulu, ijtihad model ini biasanya dilakukan oleh ulama mutaakhir dalam menghadapi permasalahan-permasalahan baru. Dengan ijtihad semacam ini dapat diketahui bahwa hukum suatu permasalahan yang belum pernah dikaji oleh para mujtahid terdahulu akan lebih diperdalam lagi pada masa sekarang, usaha menggunakan ijtihad semacam ini juga disebut dengan tahqiq al-manath.

Berdasarkan pendapat sebagian ulama, bahwa ijtihad model Tathbiq al-Ahkam asy-Syar’iyyah ini mencakup ra'yu, qiyas dan akal, mereka  memahami ra'yu sebagaimana yang diungkapkan para sahabat. Yaitu mengamalkan hal-hal yang dipandang maslahat oleh seorang mujtahid, atau setidaknya mendekati hukum syari'at dengan cara mempertimbangkan apakah hal itu memiliki dasar hukum atau tidak?. Dari pendapat tersebut Dr. Dawalibi membagi ijtihad menjadi tiga:

Pertama, Ijtihad al-Bayani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum syari'at dari nash.

Kedua, Ijtihad al-Qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam al-Qur'an dan as-Sunnah dengan menggunakan metode qiyas.

Ketiga, Ijtihad al-Istislah, yaitu ijtihad terhadap suatu permasalahan yang tidak terdapat dalam al-Qur'an dan as-Sunnah, penggalian hukumnya menggunakan ra'yu (pendapat ulama terdahulu) berdasarkan kaidah istislah (al-Maslahah al-Mursalah).

Tingkatan Mujtahid 

Perlu diketahui, ulama ushul fiqih membagi fuqaha menjadi tujuh tingkat, empat diantaranya dianggap mujtahid dan lainnya sebagai muqallid, berikut urutannya:

Pertama, Al-Mujtahidin fi as-syar’i, Fuqaha’ yang mencapai tingkatan ini disebut mujtahidin mustaqillin. Mereka merupakan fuqaha’ yang telah memenuhi semua syarat-syarat yang telah disebutkan di atas dan menggali hukum dari al-Quran dan al-Hadits secara langsung. Diantara fuqaha` yang telah mencapai tingkat ini adalah semua fuqaha` dari kalangan sahabat, fuqaha` dari kalangan tabi’in, seperti Sa’id bin al-Musayyab dan Ibrahim an-Nakha’iy, fuqaha` yang berijtihad seperti Imam Ja’far Ash-Shadiq, Imam Muhammad al-Baqir, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam al-Awza’iy, Imam al-Laits bin Sa’d, Imam Sufyan Ats-Tsauriy, Imam Abu Tsaur dan masih banyak lagi imam-imam besar lainnya, meski madzhab-madzhab mereka tidak terkodifikasi (dibukukan) secara sistematis.

Dua, Al-Mujtahidin al-Muntasibin, mereka merupakan fuqaha` yang memilih pendapat seorang imam yang ahli dalam bidang ushul, namun berbeda pendapat dalam bidang furu’, meski secara global tidak berbeda jauh. Diantara fuqaha` yang mencapai tingkat ini adalah Imam al-Muzany dari madzhab Syafi’i, Abdurrahman bin al-Qasim, Ibnu Wahb, Ibnu Abdul Hakim dan lainnya.

Tiga, Al-Mujtahidin fi al-Madzhab, mereka adalah fuqaha` yang mengikuti seorang imam dalam bidang ushul dan furu’. Tugas mereka adalah menggali hukum dari beberapa permasalahan yang belum pernah ditetapkan oleh imam mereka sebelumnya.

Empat, Al-Mujtahidin al-Murajjihin, mereka adalah fuqaha` yang bertugas mentarjih (meneliti dan menyeleksi) pendapat ulama yang telah diriwayatkan dengan mengunakan metode tarjih yang telah dirumuskan oleh mujtahid sebelumnya.

Lima,Thabaqah al-Muhafidhin, mereka adalah fuqaha` yang mampu membedakan  antara argument yang paling kuat (aqwa), kuat (qowiy), lemah (dlo’if), dhahir ar-riwayah, dhahir al-madzhab dan ar-riwayah an-nadirah seperti para pengarang kitab matan yang mu’tabaroh, sehingga mereka tidak menampilkan pendapat-pendapat yang tertolak (qaul mardud) dan riwayat-riwayat yang lemah dalam kitab-kitab mereka. Tugas mereka bukan mentarjih, namun berusaha mengetahui pendapat suatu ulama madzhab yang telah ditarjih dan mengurutkan derajat tarjih sesuai dengan ketetapan murajjihin.

Enam, Muqallidin, mereka adalah fuqaha` yang berada pada tingkatan paling bawah. Mereka dapat memahami kitab-kitab para ulama terdahulu, namun tidak mampu mentarjih pendapat-pendapat dan riwayat-riwayat ulama terdahulu.

Tujuh, kalangan masyarakat awam.

Obyek Ijtihad

Al-Ghazali pernah berkomentar, permasalahan-permasalahan yang boleh  dijadikan obyek ijtihad adalah setiap hukum syara' yang tidak memiliki dalil qoth'iy (hukum pasti). Dengan demikian dapat dipahami bahwa hukum syara' terbagi dua.

Satu, permasalahan yang telah dijelaskan hukumnya dalam nash sharih yang qath’iy al-wurud dan qath’iy ad-dilalah. Tidak ada peluang ijtihad dalam masalah yang demikian, seperti kewajiban shalat lima waktu, puasa, zakat, haji, larangan zina, khomr, pembunuhan dan sanksi-sanksi hukuman yang secara tegas disampaikan dalam al- Qur'an. Sebagaimana ketentuan jumlah hukuman 100 cambukan bagi pelaku zina yang dijelaskan dalam firman Allah swt;

"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera." (QS. An-Nur; 2)

Dua, permasalahan yang hukumnya berkaitan dengan nash yang bersifat asumtif (dhanniy al-wurud dan dhanniy ad-dilalah atau salah satu dari wurud dan dilalah-nya berstatus dhanniy). Dalam masalah-masalah yang demikian ini peluang ijtihad masih terbuka lebar.

Kesimpulannya, ijtihad dapat berlaku dalam permasalahan-permasalahan yang tidak dijelaskan dalam nash al-qur'an dan al-hadits. Atau dijelaskan dalam nash-nya namun tidak qath'iy. Ijtihad tidak dapat dilakukan secara serampangan pada hukum yang mempunyai nash qath’iy atau hukum-hukum yang kebenaranya tidak dapat diganggugugat lagi (ma’lum min ad-din bi ad-dlarurah) seperti solat lima waktu puasa ramadlan dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu. Artinya, untuk mengetahui dan mengamalkan hukum tersebut tidak perlu dengan ijtihad, karena dalilnya telah jelas.(*)

Post a Comment

0 Comments