Secara pribadi, saya tidak asing dengan Kota Cilegon, sebab sedari kecil sudah dikenalkan oleh orangtua tentang kegetiran dan kepahitan hidup warga Cilegon, mengenai penataan kota nya yang demikian sempit sehingga masyarakat Cilegon untuk berhayal memiliki taman kota atau stadion sepakbola saja sepertinya harus menunggu dengan kesabaran yang membosankan. Saya tahu betul betapa Cilegon, secara simbolis tidak lagi dimiliki warga setempat, karena sebagian besar tanahnya telah dikuasai oleh warga asing yang kebetulan singgah disana.
Bahkan sepanjang pantai dari Merak sampai Anyer, berderet-deret bangunan pabrik yang tanpa henti dibangun hanya menyisakan luapan kimia dan kotornya polusi udara pada warga kota, orang Cilegon hanya memiliki catatan lahir di KTP, tapi tanah mereka sudah dimiliki para pendatang. Cilegon hanya bisa pasrah pada amukan panas dan debu pabrik baja, emas dan permatanya diambil oleh warga asing yang memiliki saham di perusahaan besar disana.
Saya tentu bangga kepada Nashir yang demikian peduli terhadap kota Cilegon, meskipun sepertinya impian dan ide-ide besarnya mengenai Cilegon belum direalisasikan oleh pejabat setempat, Setidaknya, konsep besar dan ide-ide segar M.Nashir mampu mengilhami generasi penerusnya. Hal ini tercermin dari sikap Nasir sendiri, yang saya lihat, dengan penuh gairah, tanpa henti menyemangati anak-anak muda Cilegon agar belajar menulis dan menyalurkan ide-ide impian mereka lewat dunia literasi.
Begitulah, buku yang berjudul Catatan Dari Cilegon ini sebagian besar menggambarkan dinamika sejarah polemik Cilegon tempo dulu dan penggambaran Cilegon di esok hari, mengenai munculnya banyak problem yang ditimbulkan oleh pabrik-pabrik besar yang beroperasi di sana, pembangunan-pembangunan besar yang tidak pernah ada kata habis, keberadaan limbah kimia dan polusi udaranya, tentu, bila tidak diantisipasi sejak dini, lambat laun akan menjadi monster bagi warga Cilegon, mempengaruhi gaya hidup ke arah hedonis dan melenyapkan kultur budaya setempat. Paling tidak, dalam buku ini, saya menyadari bahwa Nasir bisa menggambarkan hal-hal sensitif dan serius Kota Cilegon dengan bahasa lugas, santai, bahkan terkadang jenaka. Walhasil, buku ini layak menjadi khazanah kebudayaan di Indonesia, menjadi catatan kecil bagi masyarakat Kota Cilegon. Salam. (*)