Menjelang Kelahiran Nabi Muhammad
Menjelang kelahiran Nabi Muhammad saw ada sebuah peristiwa yang menggemparkan Jazirah Arab, dan tidak akan terlupakan sepanjang sejarah. Yaitu pertistiwa penyerangan Abrahah, penguasa Ethiopia ke daerah Makkah untuk menghancurkan Ka'bah. Abrahah adalah utusan raja Najasyi (Negus) yang bernama Ashamah, kakek dari raja Najasyi yang beriman pada nabi. Dia diutus sebagai penguasa di Yaman dan mendirikan tempat peribadatan disana. Ketika musim haji tiba, Abrahah melihat penduduk Yaman pergi ke Makkah untuk melaksanakan haji. Hal ini merupakan suatu yang tidak disukainya. Sehingga Abrahah membangun sebuah gereja yang diberi nama Qullais di Shan'a ibu kota yaman untuk mengalihkan perhatian masyarakat Yaman pada Ka'bah yang berada di Makkah. Setelah ia berhasil membangunnya, Abrahah segera mengirimkan surat pada rajanya yang berada di Najasy.
Dalam suratnya ia mengatakan "Sesungguhnya aku telah mendirikan untukmu sebuah gereja yang belum pernah dibangun oleh raja manapun. Gereja itu terus aku renovasi agar orang-orang yang pergi haji ke Makkah mau berpaling menuju ketempat ibadah yang aku bangun". Sedikitpun Ia tidak merahasiakan niatnya, tanpa tedeng aling-aling. Hal tersebut tentunya mengundang rasa tidak terima dari kalangan suku suku yang tersebar diseantero hijaz dan najd. Akhirnya, Malik bin Kinanah salah seorang dari klan Kinanah berani meluapkan amarahannya. Tanpa ada yang mengomando. Atas desakan panggilan jiwanya ia lantas berangkat menuju gereja yang dibangun oleh Abrahah untuk melupkan api kemarahannya yang tangah meletup letup laiknya gunung berapi yang ingin memuntahkan lahar panas yang lama bercokol dalam perutnya. Iapun mempunyai inisiatif membuang air besar disana, belum puas melampiaskan kedongkolannya, serta merta ia mengotori kubah dengan kotorannya sendiri yang masih hangat.
Ketika pelecehan tersebut diketahui oleh Abrahah, semburan kemarahan dari penguasa lalim itu tak dapat dibendung oleh benteng bibirnya "Siapa yang berani melakukan pelecehan ini padaku?" sedetik kemudian, ada yang menjawab: "Yang melakukannya adalah seorang laki-laki dari Arab, salah satu penduduk Baitullah yang mendengar perkataanmu. 'aku akan memalingkan orang-orang yang haji ke gereja itu', laki-laki itu marah dan membuang kotoran di gerejamu, seakan mengisyaratkan bahwa tempat tidak layak untuk haji tapi mestinya dibuat wc" Masih dengan kemarahannya, Abrahah bersumpah akan pergi ke Makkah untuk menghancurkan Ka'bah. Demi mewujudkan semua itu, dia segera mengirimkan surat pada raja Najasi agar penguasa itu bersedia mengirimkan gajah terbesar bernama Mahmud.
Begitu gajah bernama Mahmud yang dia inginkan sampai, Abrahah langsung berangkat dari Yaman menuju ke Makkah untuk menuntaskan api dendam yang membara dalam dadanya. Kepergian Abrahah kali ini sangat menggemparkan jazirah arab karena dia berangkat dengan sepasukan perang yang cukup besar. Mulai dari penunggang gajah sampai pasukan berkuda. Sudah barang tentu, Invasi yang dilancarkan Abrahah beserta pasukannya mendapatkan halauan dari orang orang yang ingin tetap menginginkan Ka'bah tetap berdiri tegak.
Salah satunya ialah Dzu Nafar, salah seorang raja di Yaman bersama pasukannya mencoba untuk menghalau pasukan Abrahah. Namum usahanya sia-sia belaka. Bahkan, ia berhasil ditangkap oleh Abrahah. Pada saat ia hendak dibunuh maka Dzu Nafar memohon pada Abrahah: "Wahai raja! Biarkanlah aku hidup karena sesungguhnya membiarkan aku hidup lebih baik daripada membunuhku!" Mendengar permohonan itu, Abrahah menertawakannya dan membebaskannya.
Didaerah Khats'am Abrahah juga mendapatkan perlawanan tak sebanding dari Nufail bin Habib al-Khats'am dan penduduk dari kabilah Shahran dan Nahis. Akan tetapi usaha mereka juga bisa dipatahkan oleh Abrahah dan Nufail pun tertangkap. Nufail berkata: "Wahai raja, sesunguhnya aku bisa menjadi penunjuk jalan bagimu menuju ke daerah Arab. Oleh karena itu biarkanlah aku hidup". akhirnya , nyawanya dapat ditebus dengan kesediaannya menjadi penunjuk jalan.
Saat Abrahah beserta pasukan memasuki gerbang daerah Thaif. Mas'ud bin Muattib bersama beberapa laki-laki daerah Tsaqif menemui Abrahah. Mereka khawatir jangan-jangan sang penguasa lalim itu keliru menghancurkan kuil-kuil mereka al-Lât karena dikira Ka’bah. Adalah Mas'ud Bin Nu'ais salah satu dari mereka memulai langkah diplomasi, dari bibirnya keluarlah kata-kata "Wahai raja! Kami adalah hambamu kami akan selalu taat dan mendengar apa katamu, diantara kita tidak pernah ada permusuhan. Tempat peribadatan kami bukan yang akan engkau hancurkan, namun engkau hanya akan menghancurkan Baitullah yang ada di Makkah, Kami akan mengirimkan seorang penunjuk jalan bagi tuan". Meskipun telah memiliki Naufal sebagai pemandu. Abrahah menyetujui tawaran yang baru saja mereka sampaikan. Adalah Abu Righal, seorang budak milik mereka ditunjuk sebagai penunjuk jalan. Akan tetapi, ketika sampai daerah mughammis, budak itupun menghembuskan nafas yang terakhir kalinya sebelum ia mampu menuntaskan tugas.
Abrahah sendiri berhenti ditempat terakhir kalinya abu righal dapat menatap matahari. Ia mengirimkan Pasukan berkuda dibawah pimpinan al-Aswad bin Maqsud. Dia diperintahkan untuk merampas binatang ternak milik penduduk Makkah. Dalam misi yang menyimpang dari tujuan awal ini, al-Aswad berhasil menyita dua ratus ekor onta milik Abdul Muthallib. Sebenarnya kaum Quraisy, Bani Kinanah, suku Hudzail bersama dengan penduduk di daerah tanah suci Makkah sepakat untuk mengadakan perlawanan dengan kemampuan yang ada. Namun, rencana itu di batalkan. Karena kekuatan mereka tidak sebanding dengan tentara Aswad ibn Maqsud.
Sedangkan, untuk urusan diplomasi, Abrahah mengirimkan Hunâthah ibn Al-Humairy. Abrahah berkata kepada Hunathah: "Tanyakanlah siapa pembesar Makkah? Sampaikan pada mereka bahwasannya kedatanganku bukan untuk berperang, akan tetapi kedatanganku hanyalah untuk merobohkan Baitullah, oleh sebab itu jika kalian menghalangi maksudku, maka aku tidak mau berurusan dengan kalian. Sebaliknya jika kamu tidak ingin berperang denganku maka bawalah dia kehadapanku".
Tatkala Hunathah sampai di kota Makkah, ia bertanya kepada orang yang ditemuinya “siapakah pemimpin daerah ini?” Lalu ada yang menjawab “Abdul Muthallib ibn Hasyim ibn Abdi Manaf ibn Qushai”. Sedetik berlalu, ia melakukan pencarian kepada orang nomor satu se kota Makkah. Pucuk dicinta ulampun tiba, bertemulah ia kepada orang yang dinobatkan menjadi pembesar kaum Quraisy itu. Tanpa menunggu waktu yang lama, iapun menyampai pesan Abrahah, dengan bijak Abdul Muthallib mejawab "Demi Allah, kami tidak ingin berperang dengan Abrahah, lagi pula kami tidak akan sanggup melawannya, ini adalah Baitullah, al-Haram dan rumah Nabi Ibnahim as. Jika Allah tidak mengizinkan, maka hal ini wajar saja karena tempat ini adalah Baitullah dan tanah suci-Nya, sebaliknya jika Abrahah diizinkan, demi Allah kami akan menghalanginya".
Mendengar penuturan Abdul Muthallib, Hunathah menyahut, "Kalau begitu, hendaknya tuan ikut saya menghadap Abrahah. Sebab, sang raja telah mengutusku agar aku menghadapkan tuan kepadanya" . Berangkatlah kedua orang tersebut bersama dengan sebagian putera Abdul Muthallib untuk menemui sang penguasa lalim yang telah dibutakan oleh api dendam yang meluap-luap. Setelah tiba di sana, Abdul Muthallib bertanya tentang temannya, Dzi Nafar yang tertawan oleh Abrahah. Akhirnya, beliau berhasil bertemu dengan temannya di tahanan. "wahai kawan! Apakah engkau bisa mengantarkan aku untuk menemui Abrahah?". Tanya Abdul Muthallib. Dzi nafar menjawab,"apa yang bisa dilakukan oleh seorang yang ditawan oleh seorang penguasa lalim, yang sedang menunggu kapan akan dibunuh, entah besok pagi atau besok sore. Aku tidak bisa membantumu, tapi aku punya teman yang bernama Unais, dia adalah seorang yang bertugas sebagai perawat Gajah. datanglah padanya! Mintalah kepadanya agar ia memintakan izin agar ia berbicara dengan Abrahah dan bisa membantumu jika ia bisa".
Dzu Nafar mengirimkan seseorang untuk menemui Unais, singkat cerita utusan itu berkata kepada Unais, "Sungguh 'Abdul Muthallib, pemimpin kaum Quraisy, pemilik Unta Makkah, dia suka memberi makan orang dengan mudah dan suka memberi makan binatang yang ada di atas bukit, Abrahah telah mengambil dua ratus ekor unta miliknya, mintakanlah izin pada Abrahah untuknya, dan bantulah dia dengan semampumu". Unaispun menjawab, "baiklah, aku akan segera melaksanakannya". Unais menghadap pada Abrahah lalu mengatakan,"wahai sang raja, seorang pemimpin suku Quraisy tengah berada di pintu, ia meminta izin pada paduka, dia adalah pemilik dua ratus ekor unta di Makkah, dia suka memberi makanan untuk manusia dan untuk binatang yang berada di puncak bukit, izinkanlah dia menghadap, agar dia bisa menyampaikan maksudnya dan saya mohon anda sudi memperlakukannya dengan terhormat". Akhirnya, Abrahah mengizinkan Abdul muthallib masuk untuk menemuinya.
Abdul Muthallib adalah seseorang yang agung, tampan dan mulia. Sehingga, saat kedua mata Abrahah tertumpu melihatnya, bagaikan ada pancaran magis yang menunutunnya untuk memuliakan dan menghormati sang pemimpin bangsa Quraisy yang detik itu telah berdiri tegak dihadapannya, sampai-sampai Abrahah tidak ingin Abdul Muthallib duduk di bawahnya, namun disisi lain Abrahah tidak suka kalau orang-orang Habasyah melihat Abdul Muthallib duduk di atas singgasana. Akhirnya, Abrahah mengalah turun dari singgasananya lalu duduk bersama Abdul Muthallib diatas permadani.
Taklama setelah itu, Dia memerintahkan juru bicaranya untuk menanyakan maksud kedatangan pemegang kekuasaan tanah haram itu. “Tanyakanlah pada Abdul Muthallib. Apa maksud kedatangannya padaku?" Perintah Abrahah pada juru bicaranya. Setelah ditanya, Abdul Muthallib menjawab: “Maksud kedatanganku adalah meminta pada paduka raja agar sudi mengembalikan dua ratus ekor ontaku.” Abrahah berkata pada juru bicaranya "katakan padanya, saat aku melihatmu pertama kali, kekagumanku akan sosok pemimpin yang tangguh dan bijaksana menuntunku untuk memberikan penghormatan kepadamu. Namun, detik ini, kekagumanku hilang dan pudar. Seakan aku menjadi benci padamu saat engkau mengatakan maksud kedatanganmu menemuiku, mengapa engkau berbicara padaku mengenai dua ratus ekor onta yang telah kuambil dan engkau malah membiarkan rumah suci yang merupakan tempat suci agamamu dan nenek moyangmu. Tanpa mempertahankan kelangsungannya sedikitpun. Padahal, kedatanganku kesini untuk menghancurkannya”.
Abrahah merasa tidak puas. Mungkin dia berpikiran bahwa Abdul Muthallib bukanlah tipe seorang pemimpin yang baik, bahkan terkesan mementingkan diri sendiri. Terbukti ketika tempat ibadah kaumnya hendak dihancurkan bangsa lain justru dia malah menuntut agar ontanya dikembalikan tanpa menyinggung sedikitpun tentang penyerangan tersebut. Namun anggapan ini segera ditepis oleh Abdul Mutholib dengan mengatakan "Aku adalah pemilik onta-onta itu, sedangkan Baitullah adalah milik Tuhan yang akan menjaganya dari perbuatanmu." "Apakah ada yang dapat menghentikanku?" bentak Abrahah. "Ada, Tuhan pemilik Baitullah" jawab Abdul Muthallib.
Selesai pertemuan, Abrahah mengembalikan onta-onta Abdul Muthallib. Beliau lantas pulang ke Makkah, menyampaikan khabar pada kaum Quraisy bahwa Abrahah bersikukuh untuk merobohkan Baitullah. Abdul Mutholib memerintahkan kaum Quraisy keluar dari Makkah dan berlindung disela-sela bukit karena khawatir akan terkena imbas kekejian dari tentara Abrahah yang ingin meluluh-lantakkan Ka’bah. Akhirnya, beliau bersama dengan kaum Quraisy berdoa dan meminta pertolongan kepada Allah untuk keselamatan ka’bah dari amarah penguasa Yaman yang hendak menghancurkan Baitullah.
Keesokan paginya, Abrahah bersiap siap melanjutkan perjalanan untuk menuntaskan misinya. Ketika Abrahah berada ditanah Maghmas memasuki kota Makkah, Nufail menghampiri gajah besar Abrahah yang bernama Mahmud. Setelah itu, ia mendekat ke telinga Gajah tersebut sambil memberikan komando untuk berlutut. Ia mengatakan “Hai gajah! Berlututlah, atau engkau kembali pulang sesuai arah kedatanganmu! Sungguh, engkau akan memasuki daerah Haram (baladillah)” sedetik kemudian, ia melepaskan telinga binatang yang sangat besar itu. Taklama setelah mendapatkan komando dari Naufal. Pemimpin gajah yang bernama Mahmud tersebut berlutut diikuti oleh gajah gajah yang lain. Tanpa menunggu waktu lama, Nufail pergi menyelinap dari sekumpulan pasukan Abrahah menuju puncak gunung.
Aksi berlututnya gajah gajah tersebut sudang pasti megundang keheranan dari para pasukan. Hingga akhirnya, mereka terpaksa melakukan segala macam cara untuk menggerakkan kaki gajah gajah tersebut, sampai mereka memukul kepala dan mukanya dengan besi, tetapi, gajah gajah tersebut tetap tidak bergeming sedikitpun. Langkah selanjutnya, mereka mencoba strategi lain dengan menyuruh pasukan berbalik arah beberapa langkah menuju daerah Syam. Gajah itupun mau berdiri dan mengikuti mereka. Ketika gajah-gajah itu diarahkan ke arah Yaman mereka mau menurutinya. Dan Tatkala diarahkan ke arah timur. Mereka juga mau menuruti. Akan tetapi, ketika pasukan mencoba mengarahkan ke tanah Makkah, gajah gajah itu kembali berlutut seperti semula.
Peristiwa ganjil ini sudah jelas menunjukkan bahwa misi mereka tak akan berhasil. Namun, Abrahah telah dibutakan oleh api dendam dan ambisinya untuk menghancurkan Ka'bah serta mengalihkan jama’ah haji untuk pergi ke gereja yang baru saja dibangunnya. Jika saja mereka mau mengurungkan tujuan busuknya dan kembali pulang. Niscaya, mereka tidak akan menelan kegagalan yang pahit. Akan tetapi, api balas dendam yang begitu membuncah dan rasa ambisi yang bercokol di dada Abrahah tetap berkobar untuk menuntaskan maksud busuknya.
Tanpa mereka sadari, langit berubah menjadi hitam pekat. Suara guruh gemuruh saling bersahut sahutan mengoyak gendang telinga yang mendengarnya. Sejauh mata memandang, mereka dapat melihat beribu ribu burung terbang secepat kilat, tiap-tiap burung membawa tiga buah batu. Dua batu diletakkan dikedua kaki dan yang satu diletakkan di paruhnya. Burung-burung itu diutus untuk menghancurkan Abrahah beserta pasukannya sebelum mereka berhasil memasuki tanah haram. Tanpa ada yang mengomando burung burung penebar maut itu menukik ke arah barisan pasukan. Pada tiap-tiap batu sebesar biji kacang itu telah tercantum nama-nama sasaran yang akan menjadi mangsa. Masing-masing batu jatuh diatas kepala setiap sasaran hingga menembus dubur (anus). Setiap orang yang dihampiri batu pencabut nyawa langsung jatuh terkapar dan langsung membusuk.
Insiden ini tidak membuat semua pasukan Abrahah mati terbunuh. Ada yang masih bisa menyelamatkan diri dari amukan maut yang melahap setiap orang yang dijumpainya. Walaupun terseok seok dan kocar kacir, mereka mencoba kembali pulang dengan serta menenggak pahitnya kegagalan. Sementara itu, penderitaaan Abrahah setelah dihampiri batu pencabut nyawa dari neraka yang dibawa oleh burung burung penebar maut sangatlah menggiriskan. Semua ujung jarinya terlepas satu per satu dan mengucurkan darah serta nanah. Abarahah mati dalam keadaan dadanya terbelah dan hatinya menyemburat keluar.
Tentang peristiwa burung burung ababil penebar maut dan tewasnya Abrahah, sang penguasa lalim yang telah dibutakan oleh api dendam kusumat dan nafsu busuk kekuasaan ini diabadikan dalam surat al-Fiil:
Artinya : “Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-bondong, Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar”
Sumber tulisan:
Buku "Lentera Kegelapan"
Sejarah Kehidupan Nabi Muhammad Saw
Menjelang kelahiran Nabi Muhammad saw ada sebuah peristiwa yang menggemparkan Jazirah Arab, dan tidak akan terlupakan sepanjang sejarah. Yaitu pertistiwa penyerangan Abrahah, penguasa Ethiopia ke daerah Makkah untuk menghancurkan Ka'bah. Abrahah adalah utusan raja Najasyi (Negus) yang bernama Ashamah, kakek dari raja Najasyi yang beriman pada nabi. Dia diutus sebagai penguasa di Yaman dan mendirikan tempat peribadatan disana. Ketika musim haji tiba, Abrahah melihat penduduk Yaman pergi ke Makkah untuk melaksanakan haji. Hal ini merupakan suatu yang tidak disukainya. Sehingga Abrahah membangun sebuah gereja yang diberi nama Qullais di Shan'a ibu kota yaman untuk mengalihkan perhatian masyarakat Yaman pada Ka'bah yang berada di Makkah. Setelah ia berhasil membangunnya, Abrahah segera mengirimkan surat pada rajanya yang berada di Najasy.
Dalam suratnya ia mengatakan "Sesungguhnya aku telah mendirikan untukmu sebuah gereja yang belum pernah dibangun oleh raja manapun. Gereja itu terus aku renovasi agar orang-orang yang pergi haji ke Makkah mau berpaling menuju ketempat ibadah yang aku bangun". Sedikitpun Ia tidak merahasiakan niatnya, tanpa tedeng aling-aling. Hal tersebut tentunya mengundang rasa tidak terima dari kalangan suku suku yang tersebar diseantero hijaz dan najd. Akhirnya, Malik bin Kinanah salah seorang dari klan Kinanah berani meluapkan amarahannya. Tanpa ada yang mengomando. Atas desakan panggilan jiwanya ia lantas berangkat menuju gereja yang dibangun oleh Abrahah untuk melupkan api kemarahannya yang tangah meletup letup laiknya gunung berapi yang ingin memuntahkan lahar panas yang lama bercokol dalam perutnya. Iapun mempunyai inisiatif membuang air besar disana, belum puas melampiaskan kedongkolannya, serta merta ia mengotori kubah dengan kotorannya sendiri yang masih hangat.
Ketika pelecehan tersebut diketahui oleh Abrahah, semburan kemarahan dari penguasa lalim itu tak dapat dibendung oleh benteng bibirnya "Siapa yang berani melakukan pelecehan ini padaku?" sedetik kemudian, ada yang menjawab: "Yang melakukannya adalah seorang laki-laki dari Arab, salah satu penduduk Baitullah yang mendengar perkataanmu. 'aku akan memalingkan orang-orang yang haji ke gereja itu', laki-laki itu marah dan membuang kotoran di gerejamu, seakan mengisyaratkan bahwa tempat tidak layak untuk haji tapi mestinya dibuat wc" Masih dengan kemarahannya, Abrahah bersumpah akan pergi ke Makkah untuk menghancurkan Ka'bah. Demi mewujudkan semua itu, dia segera mengirimkan surat pada raja Najasi agar penguasa itu bersedia mengirimkan gajah terbesar bernama Mahmud.
Begitu gajah bernama Mahmud yang dia inginkan sampai, Abrahah langsung berangkat dari Yaman menuju ke Makkah untuk menuntaskan api dendam yang membara dalam dadanya. Kepergian Abrahah kali ini sangat menggemparkan jazirah arab karena dia berangkat dengan sepasukan perang yang cukup besar. Mulai dari penunggang gajah sampai pasukan berkuda. Sudah barang tentu, Invasi yang dilancarkan Abrahah beserta pasukannya mendapatkan halauan dari orang orang yang ingin tetap menginginkan Ka'bah tetap berdiri tegak.
Salah satunya ialah Dzu Nafar, salah seorang raja di Yaman bersama pasukannya mencoba untuk menghalau pasukan Abrahah. Namum usahanya sia-sia belaka. Bahkan, ia berhasil ditangkap oleh Abrahah. Pada saat ia hendak dibunuh maka Dzu Nafar memohon pada Abrahah: "Wahai raja! Biarkanlah aku hidup karena sesungguhnya membiarkan aku hidup lebih baik daripada membunuhku!" Mendengar permohonan itu, Abrahah menertawakannya dan membebaskannya.
Didaerah Khats'am Abrahah juga mendapatkan perlawanan tak sebanding dari Nufail bin Habib al-Khats'am dan penduduk dari kabilah Shahran dan Nahis. Akan tetapi usaha mereka juga bisa dipatahkan oleh Abrahah dan Nufail pun tertangkap. Nufail berkata: "Wahai raja, sesunguhnya aku bisa menjadi penunjuk jalan bagimu menuju ke daerah Arab. Oleh karena itu biarkanlah aku hidup". akhirnya , nyawanya dapat ditebus dengan kesediaannya menjadi penunjuk jalan.
Saat Abrahah beserta pasukan memasuki gerbang daerah Thaif. Mas'ud bin Muattib bersama beberapa laki-laki daerah Tsaqif menemui Abrahah. Mereka khawatir jangan-jangan sang penguasa lalim itu keliru menghancurkan kuil-kuil mereka al-Lât karena dikira Ka’bah. Adalah Mas'ud Bin Nu'ais salah satu dari mereka memulai langkah diplomasi, dari bibirnya keluarlah kata-kata "Wahai raja! Kami adalah hambamu kami akan selalu taat dan mendengar apa katamu, diantara kita tidak pernah ada permusuhan. Tempat peribadatan kami bukan yang akan engkau hancurkan, namun engkau hanya akan menghancurkan Baitullah yang ada di Makkah, Kami akan mengirimkan seorang penunjuk jalan bagi tuan". Meskipun telah memiliki Naufal sebagai pemandu. Abrahah menyetujui tawaran yang baru saja mereka sampaikan. Adalah Abu Righal, seorang budak milik mereka ditunjuk sebagai penunjuk jalan. Akan tetapi, ketika sampai daerah mughammis, budak itupun menghembuskan nafas yang terakhir kalinya sebelum ia mampu menuntaskan tugas.
Abrahah sendiri berhenti ditempat terakhir kalinya abu righal dapat menatap matahari. Ia mengirimkan Pasukan berkuda dibawah pimpinan al-Aswad bin Maqsud. Dia diperintahkan untuk merampas binatang ternak milik penduduk Makkah. Dalam misi yang menyimpang dari tujuan awal ini, al-Aswad berhasil menyita dua ratus ekor onta milik Abdul Muthallib. Sebenarnya kaum Quraisy, Bani Kinanah, suku Hudzail bersama dengan penduduk di daerah tanah suci Makkah sepakat untuk mengadakan perlawanan dengan kemampuan yang ada. Namun, rencana itu di batalkan. Karena kekuatan mereka tidak sebanding dengan tentara Aswad ibn Maqsud.
Sedangkan, untuk urusan diplomasi, Abrahah mengirimkan Hunâthah ibn Al-Humairy. Abrahah berkata kepada Hunathah: "Tanyakanlah siapa pembesar Makkah? Sampaikan pada mereka bahwasannya kedatanganku bukan untuk berperang, akan tetapi kedatanganku hanyalah untuk merobohkan Baitullah, oleh sebab itu jika kalian menghalangi maksudku, maka aku tidak mau berurusan dengan kalian. Sebaliknya jika kamu tidak ingin berperang denganku maka bawalah dia kehadapanku".
Tatkala Hunathah sampai di kota Makkah, ia bertanya kepada orang yang ditemuinya “siapakah pemimpin daerah ini?” Lalu ada yang menjawab “Abdul Muthallib ibn Hasyim ibn Abdi Manaf ibn Qushai”. Sedetik berlalu, ia melakukan pencarian kepada orang nomor satu se kota Makkah. Pucuk dicinta ulampun tiba, bertemulah ia kepada orang yang dinobatkan menjadi pembesar kaum Quraisy itu. Tanpa menunggu waktu yang lama, iapun menyampai pesan Abrahah, dengan bijak Abdul Muthallib mejawab "Demi Allah, kami tidak ingin berperang dengan Abrahah, lagi pula kami tidak akan sanggup melawannya, ini adalah Baitullah, al-Haram dan rumah Nabi Ibnahim as. Jika Allah tidak mengizinkan, maka hal ini wajar saja karena tempat ini adalah Baitullah dan tanah suci-Nya, sebaliknya jika Abrahah diizinkan, demi Allah kami akan menghalanginya".
Mendengar penuturan Abdul Muthallib, Hunathah menyahut, "Kalau begitu, hendaknya tuan ikut saya menghadap Abrahah. Sebab, sang raja telah mengutusku agar aku menghadapkan tuan kepadanya" . Berangkatlah kedua orang tersebut bersama dengan sebagian putera Abdul Muthallib untuk menemui sang penguasa lalim yang telah dibutakan oleh api dendam yang meluap-luap. Setelah tiba di sana, Abdul Muthallib bertanya tentang temannya, Dzi Nafar yang tertawan oleh Abrahah. Akhirnya, beliau berhasil bertemu dengan temannya di tahanan. "wahai kawan! Apakah engkau bisa mengantarkan aku untuk menemui Abrahah?". Tanya Abdul Muthallib. Dzi nafar menjawab,"apa yang bisa dilakukan oleh seorang yang ditawan oleh seorang penguasa lalim, yang sedang menunggu kapan akan dibunuh, entah besok pagi atau besok sore. Aku tidak bisa membantumu, tapi aku punya teman yang bernama Unais, dia adalah seorang yang bertugas sebagai perawat Gajah. datanglah padanya! Mintalah kepadanya agar ia memintakan izin agar ia berbicara dengan Abrahah dan bisa membantumu jika ia bisa".
Dzu Nafar mengirimkan seseorang untuk menemui Unais, singkat cerita utusan itu berkata kepada Unais, "Sungguh 'Abdul Muthallib, pemimpin kaum Quraisy, pemilik Unta Makkah, dia suka memberi makan orang dengan mudah dan suka memberi makan binatang yang ada di atas bukit, Abrahah telah mengambil dua ratus ekor unta miliknya, mintakanlah izin pada Abrahah untuknya, dan bantulah dia dengan semampumu". Unaispun menjawab, "baiklah, aku akan segera melaksanakannya". Unais menghadap pada Abrahah lalu mengatakan,"wahai sang raja, seorang pemimpin suku Quraisy tengah berada di pintu, ia meminta izin pada paduka, dia adalah pemilik dua ratus ekor unta di Makkah, dia suka memberi makanan untuk manusia dan untuk binatang yang berada di puncak bukit, izinkanlah dia menghadap, agar dia bisa menyampaikan maksudnya dan saya mohon anda sudi memperlakukannya dengan terhormat". Akhirnya, Abrahah mengizinkan Abdul muthallib masuk untuk menemuinya.
Abdul Muthallib adalah seseorang yang agung, tampan dan mulia. Sehingga, saat kedua mata Abrahah tertumpu melihatnya, bagaikan ada pancaran magis yang menunutunnya untuk memuliakan dan menghormati sang pemimpin bangsa Quraisy yang detik itu telah berdiri tegak dihadapannya, sampai-sampai Abrahah tidak ingin Abdul Muthallib duduk di bawahnya, namun disisi lain Abrahah tidak suka kalau orang-orang Habasyah melihat Abdul Muthallib duduk di atas singgasana. Akhirnya, Abrahah mengalah turun dari singgasananya lalu duduk bersama Abdul Muthallib diatas permadani.
Taklama setelah itu, Dia memerintahkan juru bicaranya untuk menanyakan maksud kedatangan pemegang kekuasaan tanah haram itu. “Tanyakanlah pada Abdul Muthallib. Apa maksud kedatangannya padaku?" Perintah Abrahah pada juru bicaranya. Setelah ditanya, Abdul Muthallib menjawab: “Maksud kedatanganku adalah meminta pada paduka raja agar sudi mengembalikan dua ratus ekor ontaku.” Abrahah berkata pada juru bicaranya "katakan padanya, saat aku melihatmu pertama kali, kekagumanku akan sosok pemimpin yang tangguh dan bijaksana menuntunku untuk memberikan penghormatan kepadamu. Namun, detik ini, kekagumanku hilang dan pudar. Seakan aku menjadi benci padamu saat engkau mengatakan maksud kedatanganmu menemuiku, mengapa engkau berbicara padaku mengenai dua ratus ekor onta yang telah kuambil dan engkau malah membiarkan rumah suci yang merupakan tempat suci agamamu dan nenek moyangmu. Tanpa mempertahankan kelangsungannya sedikitpun. Padahal, kedatanganku kesini untuk menghancurkannya”.
Abrahah merasa tidak puas. Mungkin dia berpikiran bahwa Abdul Muthallib bukanlah tipe seorang pemimpin yang baik, bahkan terkesan mementingkan diri sendiri. Terbukti ketika tempat ibadah kaumnya hendak dihancurkan bangsa lain justru dia malah menuntut agar ontanya dikembalikan tanpa menyinggung sedikitpun tentang penyerangan tersebut. Namun anggapan ini segera ditepis oleh Abdul Mutholib dengan mengatakan "Aku adalah pemilik onta-onta itu, sedangkan Baitullah adalah milik Tuhan yang akan menjaganya dari perbuatanmu." "Apakah ada yang dapat menghentikanku?" bentak Abrahah. "Ada, Tuhan pemilik Baitullah" jawab Abdul Muthallib.
Selesai pertemuan, Abrahah mengembalikan onta-onta Abdul Muthallib. Beliau lantas pulang ke Makkah, menyampaikan khabar pada kaum Quraisy bahwa Abrahah bersikukuh untuk merobohkan Baitullah. Abdul Mutholib memerintahkan kaum Quraisy keluar dari Makkah dan berlindung disela-sela bukit karena khawatir akan terkena imbas kekejian dari tentara Abrahah yang ingin meluluh-lantakkan Ka’bah. Akhirnya, beliau bersama dengan kaum Quraisy berdoa dan meminta pertolongan kepada Allah untuk keselamatan ka’bah dari amarah penguasa Yaman yang hendak menghancurkan Baitullah.
Keesokan paginya, Abrahah bersiap siap melanjutkan perjalanan untuk menuntaskan misinya. Ketika Abrahah berada ditanah Maghmas memasuki kota Makkah, Nufail menghampiri gajah besar Abrahah yang bernama Mahmud. Setelah itu, ia mendekat ke telinga Gajah tersebut sambil memberikan komando untuk berlutut. Ia mengatakan “Hai gajah! Berlututlah, atau engkau kembali pulang sesuai arah kedatanganmu! Sungguh, engkau akan memasuki daerah Haram (baladillah)” sedetik kemudian, ia melepaskan telinga binatang yang sangat besar itu. Taklama setelah mendapatkan komando dari Naufal. Pemimpin gajah yang bernama Mahmud tersebut berlutut diikuti oleh gajah gajah yang lain. Tanpa menunggu waktu lama, Nufail pergi menyelinap dari sekumpulan pasukan Abrahah menuju puncak gunung.
Aksi berlututnya gajah gajah tersebut sudang pasti megundang keheranan dari para pasukan. Hingga akhirnya, mereka terpaksa melakukan segala macam cara untuk menggerakkan kaki gajah gajah tersebut, sampai mereka memukul kepala dan mukanya dengan besi, tetapi, gajah gajah tersebut tetap tidak bergeming sedikitpun. Langkah selanjutnya, mereka mencoba strategi lain dengan menyuruh pasukan berbalik arah beberapa langkah menuju daerah Syam. Gajah itupun mau berdiri dan mengikuti mereka. Ketika gajah-gajah itu diarahkan ke arah Yaman mereka mau menurutinya. Dan Tatkala diarahkan ke arah timur. Mereka juga mau menuruti. Akan tetapi, ketika pasukan mencoba mengarahkan ke tanah Makkah, gajah gajah itu kembali berlutut seperti semula.
Peristiwa ganjil ini sudah jelas menunjukkan bahwa misi mereka tak akan berhasil. Namun, Abrahah telah dibutakan oleh api dendam dan ambisinya untuk menghancurkan Ka'bah serta mengalihkan jama’ah haji untuk pergi ke gereja yang baru saja dibangunnya. Jika saja mereka mau mengurungkan tujuan busuknya dan kembali pulang. Niscaya, mereka tidak akan menelan kegagalan yang pahit. Akan tetapi, api balas dendam yang begitu membuncah dan rasa ambisi yang bercokol di dada Abrahah tetap berkobar untuk menuntaskan maksud busuknya.
Tanpa mereka sadari, langit berubah menjadi hitam pekat. Suara guruh gemuruh saling bersahut sahutan mengoyak gendang telinga yang mendengarnya. Sejauh mata memandang, mereka dapat melihat beribu ribu burung terbang secepat kilat, tiap-tiap burung membawa tiga buah batu. Dua batu diletakkan dikedua kaki dan yang satu diletakkan di paruhnya. Burung-burung itu diutus untuk menghancurkan Abrahah beserta pasukannya sebelum mereka berhasil memasuki tanah haram. Tanpa ada yang mengomando burung burung penebar maut itu menukik ke arah barisan pasukan. Pada tiap-tiap batu sebesar biji kacang itu telah tercantum nama-nama sasaran yang akan menjadi mangsa. Masing-masing batu jatuh diatas kepala setiap sasaran hingga menembus dubur (anus). Setiap orang yang dihampiri batu pencabut nyawa langsung jatuh terkapar dan langsung membusuk.
Insiden ini tidak membuat semua pasukan Abrahah mati terbunuh. Ada yang masih bisa menyelamatkan diri dari amukan maut yang melahap setiap orang yang dijumpainya. Walaupun terseok seok dan kocar kacir, mereka mencoba kembali pulang dengan serta menenggak pahitnya kegagalan. Sementara itu, penderitaaan Abrahah setelah dihampiri batu pencabut nyawa dari neraka yang dibawa oleh burung burung penebar maut sangatlah menggiriskan. Semua ujung jarinya terlepas satu per satu dan mengucurkan darah serta nanah. Abarahah mati dalam keadaan dadanya terbelah dan hatinya menyemburat keluar.
Tentang peristiwa burung burung ababil penebar maut dan tewasnya Abrahah, sang penguasa lalim yang telah dibutakan oleh api dendam kusumat dan nafsu busuk kekuasaan ini diabadikan dalam surat al-Fiil:
Artinya : “Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-bondong, Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar”
Sumber tulisan:
Buku "Lentera Kegelapan"
Sejarah Kehidupan Nabi Muhammad Saw
Karya Legendaris Siswa Tamatan Gerbang Lama Lirboyo 2010
0 Comments