F Apa Itu Ahlussunnah Wal Jamaah? Sejarah dan Ajarannya

Apa Itu Ahlussunnah Wal Jamaah? Sejarah dan Ajarannya


Ahlussunnah Wal Jamaah versi bahasa, yang terangkai dari tiga kata; ahlu, as-sunnah, dan al-jamaah. Kata ahlu diartikan sebagai keluarga, komunitas, atau pengikut. Kata as-sunnah diartikan sebagai jalan, atau karakter. Sedang kata al-jamaah diartikan sebagai perkumpulan.

Versi istilah dari terma as-Sunnah bermakna segala sesuatu yang diajarkan Rasulullah saw baik berupa ucapan, tindakan, atau ketetapan (taqrir) beliau. Sedang kata al-Jamaah bermakna sesuatu yang telah disepakati komunitas sahabat nabi pada era Rasulullah saw dan pada era pemerintahan Khulafa` ar-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali).

Dengan demikian, pengertian Ahlussunnah Wal Jamaah dapat diartikan sebagai komunitas orang-orang yang selalu berpedoman pada sunnah nabi Muhammad saw dan jalan para sahabat beliau baik diiteropong lewat dinamika akidah, agama, amal-amal lahiriah, atau akhlak hati.

Sejarah Lahirnya Ahlussunnah Wal jamaah 

Sejarah lahirnya Ahlussunnah Wal Jamaah sebagai ideologi agama sebenarnya telah muncul saat lahirnya Rasulullah saw. Sebab, jika menengok devinisinya, Aswaja diartikan sebagai ajaran agama islam yang masih orisinil.

Ironisnya, sejak era Rasulullah saw dan para sahabat, tatanan ajaran Aswaja belum terbukukan secara sempurna. Meski moralitas akidah para pemeluk islam saat itu sangat erat memegang teguh ajaran agama sehingga tidak khawatir akan adanya penyimpangan dan penyelewengan dari tuntunan Rasulullah.

Seiring berjalannya waktu, kemurnian agama islam acapkali mengalami perubahan. Muncul berbagai sengketa dan diskursus pemahaman baru dalam menafsirkan dalil-dalil al-Qur`an dan hadits Rasulullah saw.

Rasulullah jauh-jauh hari telah mempublikasikan bahwa umatnya akan terpecah menjadi 73 golongan melebihi perpecahan umat Yahudi dan Nashrani yang berjumlah 71 dan 72.  Dari ketujuh puluh tiga pecahan islam itu hanya satu yang selamat masuk surga sedangkan yang lain mendekam di neraka. Rasulullah saw mengisyaratkan hal ini dengan hadits yang berbunyi:

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِى سُفْيَانَ أَنَّهُ قَامَ فِينَا فَقَالَ أَلاَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَامَ فِينَا فَقَالَ أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِى النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِى الْجَنَّةِ وَهِىَ الْجَمَاعَةُ

"Rasulullah saw berdiri di antara kami seraya bersabda: ”Ingatlah sesungguhnya golongan Ahli Kitab sebelum kalian semua telah terpecah menjadi tujuh puluh dua ajaran. Dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga ajaran, yang tujuh puluh dua akan masuk ke dalam neraka dan yang satu akan masuk ke surga, mereka (yang masuk surga) adalah kelompok al-Jamaah." (HR. Abu Dawud)

Setidaknya akhir periode pemerintahan khalifah Utsman ibn Affan adalah awal perselisihan itu dimulai, berlanjut pada pemerintahan Sayyidina ‘Ali dan terus memanas pada masa-masa berikutnya. Tercatat berbagai sekte bermunculan pada era tersebut, sebut saja Khawarij, Syi'ah, Mu'tazilah, dan lain-lain.

Seiring bermunculannya sekte-sekte baru, secara otomatis lahir pula istilah Ahlussunnah Wal Jamaah, energi power revolusioner dakwah bagi mereka yang masih memegang teguh ajaran Rasul dan para sahabatnya. Mereka inilah yang tetap teguh berdiri pada jalan kebenaran, tak terseret arus aliran sungai kecil yang memisahkan diri dari sumber utamanya.

Maka tidak heran jika Aswaja seringkali diartikan sebagai istilah yang lahir secara alami, tidak dibuat-buat. Istilah bagi mereka yang tidak goyah diterpa badai perpecahan dan perselisihan.

Aswaja berdiri di tengah puluhan 'islam pecahan' yang terus berusaha melukai dinding pertahanan. Oleh karena itu, dirasa sangat perlu jika ajaran Aswaja dirumuskan dan diformulasikan dalam kodifikasi (pembukuan) yang sistematis, hal ini tidak lain agar kelak senantiasa menjadi pedoman bagi para pengikutnya, menjadi perisai dari hantaman sekte lain yang siap merobohkan kekokohan Aswaja.

Pelopor pembukuan akidah Aswaja adalah Syaikh Abu al-Hasan al-Asy’ari (260-324 H.) dan Syaikh Abu Mansur al-Maturidi (333 H), dua tokoh kharismatik ulama salaf ini yang kemudian menghasilkan kodifikasi metodologi akidah Aswaja yang selanjutnya dijadikan sebagai referensi utama umat islam karena ajaran yang diproduksi oleh keduanya sesuai dengan al-Qur`an dan as-Sunnah.

Syaikh Abu al-Hasan al-Asy’ari mendokumentasikan akidah Aswaja dalam berbagai kitab beliau, diantaranya; al-Luma' fi ar-Raddi 'Ala Ahli az-Zaighi Wa al-Bida'i, al-Ibanah 'An Ushul ad-Diyanah, dan Maqalat al-Islamiyyin. Sedangkan Syaikh Abu Mansur al-Maturidi mendokumentasikan akidah Aswaja dalam kitab karangannya antara lain; at-Tauhid, Ta`wilat Ahlissunnah, Bayan Wahmi al-Mu'tazilah, dan lain-lain.

Dua tokoh kharismatik ini menjadi pelopor akidah islam yang masih orisinil, maka tidak heran jika era tersebut dianggap sebagai tonggak lahirnya sistematika kredibilitas islam Aswaja. Meski dalam sejarahnya, Aswaja sebenarnya telah lahir jauh sebelum sekte-sekte aneh bermunculan.

Pondasi Ahlussunnah Wal Jamaah

Pokok Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah selalu berpedoman kepada teladan Rasulullah saw dan para sahabat, dalam aspek keyakinan, amal-amal lahiriah, maupun akhlak hati. Tidak heran jika ketiga dimensi ini kemudian menjadi ajaran pokok agama islam. Sebagaimana isyarat dalam redaksi hadits riwayat Imam Muslim yang mengisahkan datangnya malaikat Jibril kepada Rasulullah saw untuk bertanya mengenai iman, islam dan ihsan.

Iman, islam, dan ihsan merupakan tiga energy super power  yang harus diyakini dan diamalkan seorang muslim secara universal. Ketiganya harus dijalankan secara seimbang dan menyeluruh agar tidak terjadi ketimpangan. Menurut Syaikh 'Izzuddin ibn 'Abdissalam, obyek ajaran iman adalah penataan hati, esensi islam diartikan sebagai penataan aspek lahiriyyah, sedangakan ihsan menata aspek ruhaniyyah.

Menengok historisnya, muncul pula berbagai disiplin ilmu yang serius membahas tiap-tiap aspek ajaran tersebut. Dimensi iman dipelajari dalam ilmu akidah (tauhid), islam diteliti dalam ilmu syari'at (fiqh), sedangkan ihsan dibahas dalam ilmu akhlak (tashawwuf).

Bidang Akidah

Dalam bidang akidah, ajaran aswaja mengikuti rumusan yang dikodifikasi oleh imam Abu al-Hasan al-Asy'ari dan Abu Manshur al-Maturidi. Dua tokoh ini benar-benar serius meneliti kesesuaian teologi (akidah) terhadap sumber-sumber pokoknya, yakni al-Qur`an, hadits, ijma', dan pendapat-pendapat salaf as-Shalihin. Mengembalikan islam kepada ruhnya, yakni ajaran Rasulullah dan para sahabat.

Prinsip pokok teologi Aswaja sebenarnya terletak pada prioritas terhadap dalil naqli (nash al-Qur`an dan hadits) dibandingkan dalil 'aqli (rasionalisme). Sebab, kebenaran dan kekuatan hujjah teks wahyu dari Allah swt tentu lebih tinggi dibandingkan otak manusia yang memiliki kemampuan intelektual terbatas.

Berbeda dengan berbagai sekte yang berani berspekulatif memposisikan akal melebihi dalil al-Qur`an dan Hadits. Lebih konyol lagi ada pula yang berani menginterpretasi dan menyalahkan teks-teks wahyu jika tidak sesuai dengan otak mereka.

Intisari prinsip-prinsip ajaran aswaja yang telah dirumuskan secara global terangkum dalam lima puluh akidah yang mencakup sifat wajib, muhal, sifat ja`iz bagi Allah swt dan para rasul. Sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab ulama klasik seperti kitab 'Aqidah al-'Awwam, Kifayah al-'Awwam, al-Jawahir al-Kalamiyyah dan lain sebagainya.

Bidang Syariah

Dalam bidang syari'ah (fiqh) doktrin Aswaja mengikuti metodologi pemikiran empat madzhab yakni madzhab Imam Syafi'i, Imam Maliki, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad ibn Hanbal.

Banyak sebenarnya para mujtahid yang membangun madzhab dalam bidang syariah. Namun yang menjadi pedoman komunitas Aswaja hanya empat madzhab di atas. Hal ini disebabkan hanya keempat madzhab inilah yang hasil ijtihadnya terkodifikasi secara sistematis. Proses transfer ilmu dari satu generasi ke generasi berikutnya juga terjaga dan berjalan secara sistematis sehingga tidak memungkinkan adanya penyimpangan dan penggubahan hukum.

Berbeda dengan madzhab-madzhab lain seperti madzhab Sufyan ats-Tsauri, al-Awza'i, dan Dawud adh-Dhahiri. Meski jargon madzhab mereka dipelopori ulama' agung, namun para pengikutnya kurang intensif dalam menjaga kemurnian ajaran madzhab. Lagi pula, proses transfer ilmunya kurang sistematis sehingga sangat dimungkinkan adanya penggubahan dalam rumusan-rumusan madzhab tersebut.  Bertendensi pada historis tersebut, maka tidak heran jika selain empat madzhab yang telah disebutkan tidak boleh diikuti.

Bidang Akhlak/ Tashawwuf

Tashawwuf atau yang biasa dikenal dengan akhlak, merupakan dimensi penting dalam islam, sebab misi diutusnya Rasulullah saw ke muka bumi tak lain guna menyempurnakan moralitas anak adam. Rasulullah saw bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلاَقِ

"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan budi pekerti yang luhur." (HR. Baihaqi)

Rasulullah saw telah mengajarkan metodologi membentuk moralitas yang mulia, baik secara vertikal maupun horizontal, terkait akhlak manusia kepada Allah swt, kepada diri sendiri maupun kepada sesama makhluk. Beliau tak hanya memerintahkan disfungsi teori belaka namun juga realitas konkrit suri teladan umat. Semua akhlak yang diajarkan Rasulullah saw tak lain adalah moralitas yang bermuara pada al-Qur`an. Maka tidak heran jika saat Sayyidah 'Aisyah ditanya mengenai pribadi dan karakter Rasulullah saw, beliau dengan enteng menjawab bahwa akhlak Rasulullah adalah al-Qur`an. Beliau dimetaforkan (digambarkan) layaknya al-Qur`an berjalan.

Diteropong dari aspek akhlak (tashawwuf), komunitas Aswaja berpedoman pada konsep ajaran dua tokoh ulama klasik yakni Imam al-Junaid dan Imam al-Ghazali yang dengan luar biasa memformulasikan konsep tashawwuf sehingga validitas ajarannya sudah teruji, sama sekali tidak ditemukan dari ajaran mereka konsep yang kontradiksi dengan metodologi al-Qur`an ataupun as-Sunnah.

Banyak ulama mengklaim bahwa madzhab tashawwuf yang dirintis dua tokoh religius ini merupakan madzhab bersih yang dilandasi dalil-dalil kokoh. Kekaguman kepada dua tokoh ini salah satunya pernah diungkapkan oleh Syaikh Ibn as-Subuki dalam kitab Jam'u al-Jawami', Syaikh Jalal ad-Din al-Mahalli dalam kitab Syarh al-Mahalli, dan lain-lain.

Pernyataan kekaguman tersebut cukup variatif sebagai tendensi akurat bahwa ajaran tashawwuf yang diformulasikan  Imam al-Junaid dan Imam al-Ghazali merupakan ajaran yang benar-benar sesuai dengan kandungan implisit dalam al-Qur`an dan as-sunnah. Maka tidak heran jika madzhab tashawwuf yang mereka rintis ini kemudian banyak diikuti dan dijadikan pedoman pokok oleh komunitas Aswaja.

Aswaja, Kelompok Yang Selamat

Muatan implisit yang tersurat dalam redaksi hadits pada saat Rasulullah saw ditanya mengenai salah satu komunitas yang akan selamat, beliau menjawab; mereka adalah al–jamaah.

Dalam redaksi lain Rasulullah saw menegaskan bahwa komunitas  yang selamat adalah mereka yang mengikuti teladan Rasulullah saw dan para sahabat (Khulafa` ar-Rasyidin). Rasulullah bersabda:

وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَسَتـَفْتـَرِقُ أُمَّتِي عَلَي ثَلاَثِ وَسَبـْعِينَ مِلَّةً كُلُّهَا فِي النّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً قَالُوا مَنْ هِيَ ياَ رَسُولَ للهِ قَالَ ماَ أَنَاعَلَيْهِ وَأَصْحَابِي

"Sesungguhnya Bani Israil telah terpecah menjadi tujuh puluh dua agama, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga agama. Seluruhnya masuk kedalam neraka, kecuali satu. Para sahabat bertanya, Siapa yang satu itu wahai Rasulullah? Rasul menjawab: Mereka adalah orang yang konsisten dengan ajaranku dan para sahabatku." (HR. at-Tirmidzi)

Dari penjelasan tentang pengertian Aswaja dan historis yang melatarbelakanginya, dapat ditarik kesimpulan bahwa golongan tersebut merupakan komunitas yang selamat. Aswaja adalah kelompok yang tetap konsisten (istiqomah) memegang ajaran Rasul dan para sahabat di saat berbagai aliran dan sekte-sekte lain yang destruktif ambivalensi (sesat) bermunculan.

Konklusi tersebut dibuktikan pula dengan metodologi prinsip ajaran Aswaja yang sesuai dengan al-Qur`an, Sunnah, dan  Khulafa` ar-Rasyidin. Maka tidak heran jika dominasi ulama banyak mengikuti ajaran dan prinsip-prinsip yang telah dirumuskan oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Para ulama tersebut diantaranya adalah: Imam an-Nawawi, Ibn Hajar al-'Asqalani, Imam al-Qurthubi, Ibn Hajar al-Haitami, Zakariya al-Anshari dan sebagainya. Banyak juga dari kalangan ulama tashawwuf yang menjadi pengikut Asy'ariyyah, diantaranya adalah Abu al-Qasim Abdul Karim Ibn Hawazin al-Qusyairi, dan Imam al-Ghazali.

Bukti lain yang lebih menguatkan kesimpulan di atas adalah pernyataan para ulama mengenai keotentikan prinsip-prinsip al-Asy'ari dan al-Maturidi. Salah satunya adalah argumentatif (komentar) ulama sufi yang berjuluk Lisan al-'Alawiyyin (penyambung lidah para habaib), yakni al-Habib Abdullah ibn 'Alawi al-Haddad dalam syairnya berbunyi:

وَكُنْ أَشْعَرِيًّا فِي اعْتِقَادِكَ إِنـَّهُ   #   هُوَ الْمَنْهَلُ الصَّافِي عَنِ الزّيـْغِ وَالنُّكْرِ

"Jadilah kamu golongan Asy'ari dalam akidahmu, karena sesungguhnya madzhab Asy'ari merupakan jalan yang bersih dari segala penyelewengan dan kesesatan."

Sebelum mengungkapkan syair di atas, al-Habib Abdullah al-Haddad lebih dulu telah menjelaskan bahwa firqah an-najiyah (golongan yang selamat) yang dimaksud dalam hadits Rasulullah saw adalah komunitas yang populer dengan jargon Ahlussunnah Wal Jamaah. Mereka merupakan komunitas yang konsisten memegang teguh ajaran Rasulullah dan para sahabatnya.

Beliau menegaskan, jika diteropong lewat analisis hati yang jernih sesuai dengan kontekstualisasi al-Qur`an dan Sunnah Nabi, maka substansinya dapat ditegaskan bahwa golongan yang selamat itu merupakan komunitas yang menamakan dirinya dengan sebutan al-Asy'ariyah (pengikut Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari).

Dalam hemat beliau, akidah Asy'ariyyah merupakan teologi yang dianut oleh semua komunitas ulama shufi dan para habaib keturunan Rasulullah saw yang populer dengan jargon Ali Abi 'Alawy.