F Bid'ah, Pengertian, Tinjauan, Seluk Beluk dan Contoh-Contohnya

Bid'ah, Pengertian, Tinjauan, Seluk Beluk dan Contoh-Contohnya



Devinisi Bid’ah


Bid’ah, menurut Izz ad-Din ibn ‘Abd as-Salam, versi etimologinya bermakna menciptakan sesuatu yang belum pernah ada. sedangkan versi istilahnya :

الْبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِي عَصْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيـْهِ وَسَلَّمَ 

"Bid’ah adalah semua pekerjaan yang belum ada atau tidak dikenal pada zaman Rasulullah saw."

Devinisi ini berasal dari pemahaman hadits Rasulullah yang menyebutkan bid'ah dengan istilah al-muhdatsat (hal-hal baru).
إِيَّاكُمْ ومُحْدَثَاتِ اْلأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بـِدْعَةٌ وَكُلُّ بـِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٌ 

"Berhati-hatilah kalian terhadap muhdatsat (hal-hal baru) karena sesungguhnya semua muhdatsat itu bid'ah dan semua yang bid'ah adalah sesat." (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Ibn Majah)

Dengan demikian, bid’ah mencakup segala "hal baru" yang belum pernah dilakukan Rasulullah saw baik yang berkaitan dengan ibadah maupun tidak, bersifat duniawi maupun ukhrawi, kontradiksi dengan hukum syariat ataupun tidak. Oleh karenanya, agar pemahaman mengenai "Hal Baru" ini tidak rancu, dalam memahami masalah ini diperlukan klasifikasi pembagian dan pemilahan guna membedakan antara standarisasi bid'ah yang Boleh dan yang dilarang sehingga memahami redaksi 'Muhdatsat' tidak meluber kemana-mana.

Pembagian Bid'ah

Imam Syafi'I berkomentar, bid'ah secara global terklasifikasi menjadi dua, yakni bid'ah hasanah (yang baik) dan bid'ah sayyi`ah (yang buruk). Diskursus pemahaman bid’ah secara terperinci versi Syaikh 'Izuddin ibn Abdi as-Salam dalam kitab Qawa'id al-Ahkam dan Imam Jalal ad-Din as-Suyuthi dalam kitab Tanwir al-Halik Syarh al-Muwaththa' menegaskan bahwa konseptualisasi bid'ah diklasifikasi menjadi lima bagian yang disinergikan menjadi lima komponen hukum yakni wajib, sunnah, mubah, haram, dan makruh.

Berikut pembagian bid'ah secara terperinci 
Beserta contoh-contohnya:

Bid'ah Hasanah

Bid'ah hasanah, merupakan bid'ah yang aktifitasnya tidak bertabrakan dengan doktrin Al-Qur'an, hadits, ucapan-perbuatan sahabat, serta ijma' (konsensus/kesepakatan ulama). Dari uraian diatas, bid'ah hasanah diklasifikasi menjadi tiga macam.

Pertama, bid'ah wajibah (bid'ah yang wajib hukumnya), merupakan produk bid’ah yang disinergikan untuk memunculkan hal-hal yang diwajibkan syara’. Contohnya: Mengumpulkan al-Qur`an dalam satu mushaf yang dirintis oleh Sayyidina Utsman RA demi menjaga orisinalitas al-Qur`an, sebab jika Al-Quran tidak terkodifikasi, dan semua bid'ah dihukumi sesat, niscaya sampai hari ini umat Muhammad tidak akan bisa membaca Al-Quran.

Contoh lainnya dari bid'ah wajibah adalah membukukan hadits-hadits Nabawi sebagaimana yang telah dilakukan Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Malik dan ahli hadits lainnya. Begitupula mempelajari ilmu nahwu, sharaf, balaghah, dan lain-lainnya. Sebab, hanya dengan ilmu-ilmu inilah seseorang dapat memahami al-Qur`an dan al-Hadits secara sempurna. Sedangkan memahami al-Qur`an dan hadits demi memelihara agama hukumnya wajib. Jika semua bid'ah itu sesat, bagaimana dan darimana kita bisa mempelajari Quran dan Hadits? Padahal Quran dan hadits itu termasuk bid'ah? maka menurut Syekh Izzudin Bin Salam, tidak semua bid'ah atau muhdatsat itu sesat.

Kedua, bid'ah mandubah (bid'ah yang sunnah hukumnya) yakni bid’ah yang sesuai dengan al-Qur`an dan bersifat menghidupkan sunnah Nabi Muhammad saw). Contohnya, mendirikan madrasah, pesantren, kantor-kantor, dan sarana kebaikan lainnya yang tidak ada di masa Nabi Muhammad saw.

Ketiga, bid'ah mubahah, yakni bid’ah yang tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Hadits, serta tidak dianjurkan pula untuk melakukannya. Contoh bid’ah seperti ini  menurut Imam Nawawi adalah berjabat tangan setelah shalat lima waktu, menggunakan kendaraan dengan tujuan ibadah seperti solat ke mesjid, makan-minum yang lezat demi menguatkan ibadah dan lain-lainnya.

Bid'ah Sayyi'ah

Bid'ah sayyi'ah, disebut juga dengan bid'ah dlalalah atau bid'ah madzmumah, yakni bid'ah yang menyimpang dari aturan al-Qur'an, hadits, ucapan dan perbuatan sahabat serta ijma' ulama'. Ditinjau dari orisinalitas hukumnya, bid’ah sayyi’ah terbagi menjadi dua:

Pertama, bid’ah makruhah, yakni semua bid’ah yang berhubungan dengan hukum makruh. Contohnya: menghias masjid dengan hiasan yang berlebihan. Kedua, bid’ah muharramah, yakni bid’ah yang bertentangan dengan al-Qur`an dan Hadits. Contoh dalam masalah ini seperti:
Ajaran radikal madzhab Jabbariyah dan Murji’ah. Menganggap najis atau mengklaim kafir orang muslim yang berbeda aliran. Meyakini 'boleh' memiliki istri lebih dari empat. Ikut merayakan hari Natal.

Ditinjau dari sudut pandang lain, dengan cara mempertimbangkan ruang lingkupnya, bid'ah sayyi`ah terbagi menjadi dua: Pertama, bid’ah dalam masalah ushul ad-din (akidah, tauhid, keyakinan). Yakni akidah yang menyalahi atau tidak sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya. Contoh kasus ini seperti, keyakinan bahwa alam tercipta melalui proses evolusi, bukan karena kuasa Allah swt. Keyakinan bahwa ada kekuatan lain selain Allah swt yang memberikan pengaruh terhadap benda, seperti keyakinan bahwa api bisa membakar, pisau bisa memotong sendirinya tanpa ada campur tangan kekuasaan Allah swt. Bid'ah dalam sekte sesat seperti akidah Qadariyah, Juhamiyah, Khawarij, Jabariyah dll. Bid'ah dalam masalah ushul ad-din harus dihindari sejauh-jauhnya. Sebab selain berdampak dosa, bid’ah dalam masalah ideologi ini bisa menyebabkan kekufuran.

Kedua, bid’ah dalam masalah Furu’ al-Din, yakni tindakan bid'ah yang tidak mencakup ruang lingkup akidah dan sekte-sekte sesat. contohnya seperti penulisan lafadz صَلَّى‮ ‬اللهُ‮ ‬عَلَيْهِ‮ ‬وَسَلَّمَ‭ ‬ disingkat dengan huruf shad‭ (‬ص‭) ‬atau disingkat menggunakan lafadz‭ (‬صَلْعَمْ‭) ‬setelah menulis nama Nabi Muhammad saw. bertayamum menggunakan sajadah dan bantal yang tidak ada debunya.

Dari klasifikasi hukum di atas dapat dipahami bahwa tidak "Setiap bid'ah itu sesat" dan tidak setiap muhdatsat (hal baru) yang tidak diajarkan Rasulullah saw diklaim sebagai bid'ah yang harus dijauhi. Ada bid'ah yang sunnah, bahkan ada pula yang wajib dilakukan. Jangan mudah bicara serampangan bahwa semua bid'ah itu sesat, jika semua sesat, lantas darimana kita bisa membaca Al-Quran dan Hadis Bukhori Muslim? padahal Mushaf Al-Quran dan Kitab-kitab hadits adalah bid'ah (tidak ada di jaman Rosul)



عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرَانِي لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ فَقَالَ عُمَرُ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ

Abdurrahman ibnu Abd al-Qôri' ia berkata: "Aku keluar menuju masjid bersama Umar ibn al-Khathab pada bulan Ramadlan. Saat itu semua orang terpisah (dalam melaksanakan shalat tarawih). Sebagian shalat sendiri-sendiri, sedang yang lain shalat berjamaah bersama kelompoknya masing-masing. Umar berkata: "Demi Allah, aku punya gagasan untuk mengumpulkan mereka di bawah komando satu qôri' (imam shalat).” Lantas Umar pun mengumpulkan mereka kepada Ubay ibn Ka’ab sebagai imam. Abdurrahman melanjutkan ceritanya: ”Pada kesempatan berikutnya aku keluar lagi bersama Umar, sedangkan orang-orang saat itu telah mengerjakan shalat di belakang imam mereka. Sayyidina Umar berkomentar: "Sebaik-baik bid’ah adalah ini (yakni sholat tarawih dengan berjama'ah)." (HR. Malik)

Dari Hadits diatas, sudah jelas bahwa Sayyidina Umar pun mengakui bahwa ada bid'ah yang baik dan tidak semua muhdatsat itu buruk dan sesat.

Lantas, bagaimana cara membedakan bid'ah yang dilarang dan yang diperbolehkan? Manakah yang termasuk bid'ah hasanah dan mana bid'ah sayyi`ah?

Syaikh Hasyim Asy'ari dalam kitab Hujjah Ahlussunnah Wal Jamaah menawarkan tiga konsep praktis agar bisa membedakan bid'ah hasanah dan sayyi`ah.

Pertama, jika perbuatan itu memiliki tendensi akurat berupa dalil-dalil syar’i baik yang universal maupun parsial, maka masalah-maslah di zaman sekarang tidak ada yang masuk kategori bid'ah sayyi’ah. Sebaliknya, jika tidak ada dalil yang akurat, maka perbuatan itu termasuk bid'ah yang dilarang.

Kedua, seyogianya memperhatikan ajaran dan prilaku ulama salaf (ulama abad I, II, dan III H). Bila diajarkan oleh mereka, minimal memiliki dalil syar'i dari ajaran dan kaidah yang mereka buat maka perbuatan itu bukan termasuk bid’ah yang sesat.

Ketiga, jika melihat perbuatan baru, terlebih dahulu haruslah diteropong melalui qiyas (penyamaan dan pencocokan) dengan prilaku para ulama sebelumnya. Dengan cara menganalogikan perbuatan tersebut dengan perbuatan yang telah jelas hukumnya. Bila condong dan berpotensi dihukumi haram maka perbuatan itu termasuk bid’ah muharramah. Jika memiliki kecenderungan pada perbuatan wajib, maka dikategorikan bid’ah wajibah, begitu seterusnya.

Tidak Setiap Bid'ah Pasti Sesat

Sebagian orang islam mengklaim bahwa setiap bid'ah pasti sesat, pasti sesat, pasti sesat. Segala hal baru yang tidak pernah dilakukan Rasulullah langsung divonis sebagai bid'ah dlolalah, pasti sesat, pasti sesat, pasti sesat. Tidak ada istilah bid'ah mubah, sunnah, apalagi wajib. Pandangan ini bemula dari pemahaman redaksi hadits Rasulullah saw yang berbunyi;



"وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ، وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ........"


Padahal kata "kullu" dalam redaksi hadits di atas mempunyai banyak makna dan tidak mengindikasikan sebuah kesimpulan bahwa "semua mekanisme bid'ah dihukumi sesat dan semua kesesatan berada di dasar neraka". Mengapa demikian?

Mari kita analisa lebih lanjut. Jika kita meninjau redaksi "Kullu" dalam hadits diatas dengan memaknai "Semua" pemahaman ini tidak sepenuhnya salah. Akan tetapi makna kullu dalam hadits di atas perlu diverifikasi ulang sehingga tidak menimbulkan implikasi vonis negatif dan dekonstruktif yang akibatnya malah merugikan mainstream umat islam. Sebab, jika redaksi hadits di atas dipahami "semua bid'ah itu sesat" hal ini tidak hanya mempersempit kreatifitas umat islam, juga bisa menghancurkan umat manusia di era modern. Sebagaimana adanya barang-barang muhdasat (barang-barang baru yang tidak ada di jaman Rosul) seperti membaca al-Quran menggunakan aplikasi seluler dan lain sebagainya yang termasuk 'bidah/sesat' karena tidak ada dijaman Rosul.

Kita harus memahami substansi bid’ah terkait konteks redaksi "kullu" dalam hadits di atas, sehingga islam menjadi ajaran 'mudah' bukan mempersulit dan mempersempit umatnya. Berikut beberapa kajian sebagai bahan 'pertimbangan' dalam memahami konsep bid’ah secara benar.

Kajian Pertama, Kata Kullu Bermakna Ba'dlu (Sebagian)

Kata "kullu" sebagaimana dalam hadits diatas, terlebih dahulu harus di-ta`wil (dimetaforkan dengan arti majaz). Karena, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, jika kata kullu tetap dipahami dengan makna asli (Makna Semua) akibatnya malah menimbulkan kontradiksi hukum yang tidak logis. Kata kullu dalam hadits di atas di-ta`wil dengan arti ba'dlu (sebagian). Pen-ta`wil-an ini berlandaskan pada beberapa ayat al-Qur`an yang memaknai kata kullu dengan arti 'sebagian'.
Allah berfirman:

وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ
"Dan  dari  air  Kami  jadikan sebagian hal  yang  hidup."  (QS. Al-Anbiya`; 30)

Kata "kullu" dalam ayat di atas diartikan dengan makna sebagian. Kenapa? karena tidak semua makhluk hidup tercipta dari air. Hal ini sebagaimana proses penciptaan jin yang terbuat dari api membara sebagaimana firman Allah swt;

خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ
.
“Engkau (Allah) telah menciptakan aku (iblis) dari api sedangkan engkau menciptakannya (adam) dari tanah liat”. (QS Al-A’raf : 12).

Jadi, pen-ta`wil-an kata "kullu" dalam redaksi ayat di atas mengacu pada Hadits Rasulullah dengan jelas menyebutkan bahwa bid'ah dlalalah sebenarnya bermakna 'Sebagian'.

Rasulullah saw bersabda:

مَنِ ابـْتَدَعَ بـِدْعَةً ضَلاَلـَةً  لاَ تُرضِي اللهَ وَرَسُولَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثاَمِ مَنْ عَمِلَ بـِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئٌ

"Barang siapa membuat bid’ah dlalalah, bid’ah yang tidak mendapatkan ridlo Allah dan Rasul-Nya, maka ia mendapat dosa sebagaimana dosa orang yang melakukan bid’ah tersebut (setelahnya). tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun. (HR. at-Tirmidzi & Ibn Majah)

Melihat hadits ini, terdapat lafadz لاَ تُرضِي اللهَ وَرَسُولَهُ yang bermakna "bid’ah yang tidak mendapatkan ridlo Allah dan Rasul-Nya" maka dapat dipahami bahwa sebenarnya ada bid'ah yang Boleh dilakukan asalkan mendapat Ridlo Allah dan Rosulullah.

Kajian Kedua; Pentakhsisan Hadits

Setelah sebelumnya kita membahas tentang pentakwilan hadis, sekarang mari kita membahas tentang pentakhsisan hadits.

Imam an-Nawawi dalam Syarh Muslim menjelaskan, redaksi "kullu" dalam hadits di atas dimaknai "semua" atau setiap. Hanya saja literatur hadits di atas telah di-takhshish oleh hadits lain yang menjelaskan bahwa sebenarnya terdapat bid'ah yang wajibah dan bid'ah sunnah. Sedangkan hadits yang menjadi perevisinya adalah sabda Rasulullah saw riwayat imam Muslim ra:

مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

"Barang siapa yang membuat teladan yang baik dalam agama islam, kemudian diamalkan setelanya, maka ia mendapatkan pahala orang-orang yang mengamalkan, tanpa mengurangi pahala mereka. Barang siapa membuat teladan buruk dalam islam, kemudian diamalkan setelahnya, maka ia mendapatkan dosa orang-orang yang mengamalkan, tanpa mengurangi dosa mereka."  (HR. Ahmad)

Hadits diatas merupakan sebuah revisi pada hadits sebelumnya, mari kita telaah "Barang siapa yang membuat teladan yang baik" Artinya, Teladan baik atau prilaku baru yang belum atau tidak diajarkan Nabi, tapi ada di jaman sekarang, jika itu baik untuk kemashlahatan umat mengapa dianggap sesat? seperti cermah di Televisi, membuat aplikasi Al-Quran digital di seluler, atau menulis kajian islam di blog, semua ada unsur ibadah yang tidak dilakukan Rosul, jadi mengapa perbuatan demikian malah disesatkan? Hadis diatas juga diperkuat oleh pernyataan Sayyidina Umar ra mengenai shalat tarawih yang dilakukan secara berjamaah, padahal itu bid'ah, sesuatu yang baru, muhdatsat.


Kajian Ketiga; Penyimpanan Lafadz

Kata "wa kullu bid'atin dlalalatun" dalam hadits sebelumnya, masih bersifat universal. Maksudnya tidak bisa dikonsumsi secara terpotong-potong begitu saja sebab akibatnya akan terjadi kontradiksi makna dengan pemahaman beberapa hadits lain.

Habib Novel bin Muhammad Alydrus menuliskan bahwa hadits di atas harus di-ta`wil. Yakni dengan memperkirakan terma yang tersimpan setelah kata bid'atin. Dominasi ulama sepakat bahwa bila terma hadis dibuang begitu saja, maka bisa memiliki arti 'yang bertabrakan dengan syari'at'. Sehingga secara implisit, hadits tersebut bermakna; 'setiap bid'ah yang bertentangan dengan syari'at adalah sesat. Dan setiap kesesatan akan berada di neraka'. Kalimat ini secara tekstual tidak dituangkan dalam redaksi hadits karena sudah bisa dipahami oleh pembaca atau pendengarnya.

Diskursus penta`wilan dengan metodologi di atas terdapat pula dalam redaksi ayat al-Qur`an dan hadits Rasulullah saw. Sebagaimana hadits yang berbunyi;


لاَ يـُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ  ِلأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

"Tidak beriman salah seorang di antara kalian sebelum ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai diri sendiri." (HR. Bukhori)

Konsekuensi hadits di atas jika dipahami secara tekstual akan berdampak pada banyaknya orang-orang yang imannya tidak sah disebabkan mereka tidak bisa mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.

Oleh karena itu, mayoritas ulama memaknai literatur hadits di atas dengan kontekstual yang berbunyi "Tidak sempurna iman seseorang hingga ia dapat mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri".

Kajian Keempat; Tidak Setiap Yang Ditinggalkan Rasulullah saw Dilarang

Era peradaban kontemporer yang berlangsung saat ini banyak memunculkan amalan dan ritual tradisi  yang belum ada pada era Rasulullah saw. Namun fenomena kemunculannya tidak bisa dijadikan argumentatif radikal untuk mengklaim dan memvonis amalan tersebut sebagai bid'ah yang dilarang. Sebab, tidak setiap prilaku yang ditinggalkan Rasulullah saw merupakan larangan agama. Banyak faktor yang menyebabkan Rasulullah saw meninggalkannya, diantara alasan itu;

Pertama, karena merasa jijik, sebagaimana kisah Rasulullah dan Khalid ibn Walid yang diilustrasikan dalam sebuah hadits:

عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْتَ مَيْمُونَةَ فَأُتِيَ بِضَبٍّ مَحْنُوذٍ فَأَهْوَى إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ فَقَالَ بَعْضُ النِّسْوَةِ أَخْبِرُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَا يُرِيدُ أَنْ يَأْكُلَ فَقَالُوا هُوَ ضَبٌّ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَرَفَعَ يَدَهُ فَقُلْتُ أَحَرَامٌ هُوَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ لَا وَلَكِنْ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ قَالَ خَالِدٌ فَاجْتَرَرْتُهُ فَأَكَلْتُهُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ

"Khalid ibn Walid bersama Rasulullah saw masuk ke rumah Maimunah. Rasulullah saw disuguh dengan dlab (hewan mirip biawak yang ada di Arab) yang dipanggang. Rasulullah saw menjulurkan tangan Beliau ke hidangan tersebut. Sebagian wanita berkata: "Beritahukan kepada Rasulullah saw apa yang hendak beliau makan!" Para sahahbat pun berkata: "Ini adalah dlab, Wahai Rasulallah saw!" Rasulullah pun mengangkat tangannya kembali. Aku (Khalid) bertanya: "Apakah ini haram, Wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Tidak, hanya saja ini tidak terdapat di tanah kaumku sehingga aku merasa jijik (tidak berselera). Khalid berkata: "Maka akupun memakannya, sedang Rasulullah saw hanya melihat." (HR. Bukhari)

Yang kedua, karena lupa, sebagaimana ilustrasi hadits:


سَهَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الصَّلاَةِ فَتَرَكَ مِنْهَا شَيْئًا فَسُئِلَ هَلْ حَدَثَ فِي الصَّلاَةِ شَيْءٌ قَالَ إِنــَّمَا أَنـَا بـَشَرٌ أَنــْسَى كَمَا تـَنْـسَوْنَ فَإِذَا نَسِيتُ فَذَكِّرُونِي

Rasulullah saw lupa dalam shalat sehingga beliau meninggalkan sesuatu. Beliau ditanya: "Apakah ada peraturan baru dalam shalat?" Beliau menjawab: "Aku adalah manusia. Aku juga lupa sebagaimana kalian lupa. Maka bila aku lupa, ingatkanlah!" (HR. Bukhari & muslim)

Tiga, karena khawatir dipersepsikan fardlu, seperti diskursus problematika ritual shalat tarawih. Rasulullah saw saat itu hadir ke masjid guna melaksanakan shalat tarawih pada tanggal 23, 25, dan 27 Ramadlan. Sedangkan pada malam berikutnya beliau tidak hadir meski sebenarnya banyak sahabat yang saat itu setia menunggu kehadirannya. Selepas shalat shubuh Rasulullah saw bersabda:

قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إلاَّ أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ‏‭

"Aku mengetahui apa yang telah kalian lakukan. Tidak ada yang mencegahku untuk hadir ke masjid selain kekhawatiranku apabila shalat ini diwajibkan bagi kalian." Demikian penjelasan Sayyidah ‘Aisyah dalam riwayat Imam Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud.

Masih banyak problematika klasik yang menyebabkan Rasulullah saw meninggalkan ibadah. Tapi pada intinya, problematika keagamaan yang ditinggalkan Rasulullah saw tidak boleh langsung divonis sebagai sesuatu yang diharamkan.

Relevansi fenomena ini dipublikasikan saat kenjeng nabi masih hidup ataupun setelah wafat dengan munculnya amalan-amalan baru yang diamalkan para sahabat meski tidak diajarkan oleh Rasulullah.

Contoh amalan yang dilakukan pada masa Rasulullah saw tetapi tidak dianjurkan beliau diantaranya:

Pertama, dikisahkan oleh Sayyidina Rifa'ah Ibn Nafi', saat Rasulullah bangun dari ruku', beliau membaca "sami'allahu liman hamidah". Mendengar bacaan dzikir Rasulullah saw muncul seorang lelaki berjamaah di belakang  menyahut dengan lantang;

رَبـَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ

Selepas salam, Rasulullah sempat menanyakan perihal sahabat yang tadi menyahut dengan bacaan dzikir, serta merta lelaki itupun menjawab bahwa dirinyalah yang tadi membaca dzikir. Menanggapi hal tersebut, Rasulullah saw bersabda:


رأيتُ بِضْعَةً وثلاثين مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهمْ يَكْتُبُها

"Aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat terburu-buru siapa di antara mereka yang akan mencatat amal (bacaan) tersebut." (HR. al-Bukhari, an-Nasa`i, Abu Dawud, Ahmad, dan Ibn Khuzaimah)

Kisah diatas mengimplikasikan adanya amalan baru yang tidak diajarkan Rosulullah, Tapi beliau Nabi tidak mengajarkanya, juga tidak melarangnya.

Contoh kedua, dipublikasikan oleh Sayyidah 'Aisyah bahwa saat itu para sahabat mengadukan moralitas seorang komandan perang yang setiap kali melakukan shalat selalu mengakhiri dengan ritual bacaan surat al-Ikhlas. Mendengar pengaduan para sahabat, Nabi memerintahkan sahabat beliau untuk menemui sang komandan guna mencari tahu alasan ia melakukan sesuatu yang tidak diajarkan Rasulullah itu, sang komandan menjawab "Karena al-Ikhlas adalah sifat Allah swt dan aku senang membacanya."

Menyikapi hal ini, Rasulullah saw bersabda: "Informasikan kepadanya bahwa Allah mencintainya." (HR. Bukhari & Muslim)

Diatas adalah dua contoh adanya bid'ah, amalan baru, yang tidak diajarkan Rosulullah tapi tidak dilarang oleh agama

Dibawah ini adalah contoh amalan yang dilakukan setelah wafatnya Rasulullah saw diantaranya:

Pertama, sikap Sayyidina Ali yang membiarkan shalat sebelum melaksanakan shalat 'Ied. Sementara Rasulullah saw tidak pernah sekalipun mengajarkan apalagi menganjurkannya. Sayyidina Ali berulangkali ditanya perihal hukum sholat tersebut. Saat itu beliau hanya terdiam saja sehingga para sahabat mendesak. akhirnya Sayyidina ‘Ali angkat bicara :

"Kalian menanyakan kepadaku tentang sunnah. Padahal Nabi Muhammad saw tidak pernah melakukan shalat sebelum shalat ‘ied maupun sesudahnya. Barang siapa yang ingin melakukannya, maka lakukanlah. dan barang siapa yang tidak ingin melakukannya, maka tinggalkanlah!" (HR. Bazzar)

Konon, Sayyidina Ibn 'Abbas ra selalu mengusap keempat sudut Ka'bah meski Rasulullah saw hanya mengusap bagian rukun yamani saja. Mu'awiyyah ra bertanya perihal prilaku tersebut. Ibn Abbas ra menjawab:

لَيْسَ شَيْءٌ مِنَ الْبَيْتِ مَهْجُورًا

"Tidak ada bagian dari baitullah yang dilarang." (HR. Bukhari dan at-Tirmidzi)

Diatas, adalah bukti bahwa ada beberapa amalan baru, yang tidak dilakukan Rosulullah tapi dilakukan oleh para sahabat. dan masih banyak lagi berbagai contoh amalan baru yang dilakukan para sahabat setelah Rasulullah saw wafat meski fenomena tersebut tidak pernah sekalipun mendapat legalitas hukum dari Rasulullah saw.

Kisah yang paling terkenal berada di jaman kholifah Abu Bakar. prajurit islam banyak memberantas para pembelot yang tidak mau membayar zakat. Di era Umar Bin Khattab, para sahabat ditertibkan dan dikumpulkan dalam jamaah shalat tarawih. Sedangkan pada era khalifah Utsman, adanya amalan baru berupa adzan kedua saat shalat Jum’at dan pembukuan  mushaf al-Quran dimunculkan sebagai tindakan pembaharuan islam. Masih banyak sebenarnya contoh-contoh lain yang membuktikan bahwa "Tidak semua amalan baru itu bid'ah dlolalah yang sesat"

Rasulullah saw bersabda;

إِنــَّمَا أَصْحَابـِي كَالنُّجُومِ فَبِأَيـِّهِمُ اقْتَدَيْتـمْ اهْتـَدَيـْتمْ

"Sungguh sahabatku laksana bintang, maka kepada siapa kalian mengikuti, kalian mendapat petunjuk." (HR. Ibn 'Abbas)

Dalam banyak hal, sebenarnya banyak pula konsep tradisi ritual yang tidak dilakukan para sahabat dan ulama salaf karena ada alasan tertentu seperti udzur, momen yang tidak tepat, atau faktor lain yang melatarbelakanginya sehingga amal-amalan tersebut tidak serta merta bisa dikategorikan sebagai bid'ah yang dilarang. Hal ini seperti yang telah dijelaskan di gerbang awal bahwa titik pembeda antara bid’ah hasanah dan sayyi`ah adalah adanya "dalil" yang dijadikan tendensi hukum bukan terpaku pada pekerjaan orang-orang kuno, Imam Syafi’i berkata;

كُلُّ مَا لَهُ مُستَنَدٌ مِنَ الشَّرْعِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ وَلَوْ لَمْ يَعْمَلْ بـِهِ السَّلَفُ ِلأَنَّ تـَرْكَـهُمْ لِلْعَمَلِ بـِهِ قَدْ يـَكُونُ لِعُذْرٍ قَامَ لَهُمْ فِي الْوَقْتِ أَوْ مَا هُوْ أَفْضَلُ مِنْهُ أَوْ لَعَلَّهُ لَمْ يَبْلُغْ جَمِيعَهُمْ عِلْمٌ بـِهِ

"Setiap hal yang memiliki dalil syara’ tidaklah termasuk bid’ah meski tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf. Karena mereka meninggalkan hal tersebut kemungkinan karena adanya udzur, adanya amal yang lebih utama atau informasi tentang amalan tersebut tidak sampai kepada mereka.

Mengamalkan Hadits Dla'if

Perlu diketahui, substansi hadits dla’if adalah hadits yang cacat, ditinjau dari berbagai aspek sudut pandang seperti para perawi hadits, runtutan sanad yang tidak lengkap, dan lain sebagainya. Banyak ulama yang berbeda pendapat mengenai hukum mengamalkan kandungan hadits dla'if. Madzhab Syafi'i berpendapat hadits dla'if tidak bisa dijadikan dalil yang berperan sebagai pencetusan sebuah hukum. Hadits dla’if boleh-boleh saja diamalkan dalam rangka fadho`ilul a'mal (keutamaan ibadah) sepeti dzikir, do'a, tasbih, wirid, sedekah, dan lain-lain.

Madzhab Hanbali malah setuju bila hadits dla'if dijadikan patokan hukum, asalkan ke-dla'if-an haditsnya tidak begitu parah. Di lain pihak, madzhab Maliki dan Hanafi hanya menggunakan hadits dla'if yang ke-dla’if-annya disebabkan unsur mursal (tidak ditemukannya seorang perawi hadits dalam runtutan sanad), baik dalam fadho`ilul a'mal maupun pencetusan hukum.

Secara global, hadits dla'if bisa diamalkan asalkan ke-dla'if-an haditsnya tidak begitu parah. Oleh karena itu, tidaklah dibenarkan jika ada seseorang yang mengamalkan hadits dla'if lalu langsung divonis sebagai bid'ah sesat yang dilarang.

Dari uraian di atas, sebagian masyarakat yang masih menganggap bahwa mengamalkan hadits dla'if adalah bid'ah yang sesat, yang dilarang agama, tidaklah dapat dibenarkan, karena para imam mujtahid sendiripun banyak yang mengamalkan hadits dlaif karena fadla`il al-a'mal sekaligus sebagai pencetus sebuah hukum.(*)


Post a Comment

0 Comments