F KH.Imam Yahya Mahrus, Lirboyo, Sejarah Dan Metodologi Belajar

KH.Imam Yahya Mahrus, Lirboyo, Sejarah Dan Metodologi Belajar


Dibawah ini adalah arsip wawancara dengan Alm. KH.Imam Yahya Mahrus tahun 2010.

Saya lahir tahun 1949, sewaktu kecil sudah mengenal Mbah Yai Abdul Karim, sebab pada waktu itu saya masih suka main dan supaya Mbah Yai Abdul Karim kenal dengan saya, maka seringkali saya berteriak-teriak di depan beliau, yang saya ingat, teriakan saya itu tak lain “o’e’o oe’ oe o’e oe’ o’eee..” Hehe (Tertawa), setelah itu Mbah Yai Abdul Karim pasti memanggil saya “Imam..!!” saya jawab, enggih Mbah. Jadi sebenarnya saya teriak-teriak itu tujuannya supaya di kenal dan kalau sudah begitu saya mesti di kasih uang, sebab saya pada waktu itu suka jajan, kepada ibu saya sudah minta, ke ayah juga sudah, minta uang ke warung juga sudah, sehingga uang yang saya miliki itu habis semua, jadi kalau saya ingin uang tambahan mesti saya meminta pada Mbah Yai Abdul Karim. Setelah dipanggil pasti saya di kasih uang. Kemudian saya lihat uang yang di pegang oleh beliau itu ternyata ada setali ada setengah, sebab pada waktu itu saya sudah tahu yang namanya uang.

Pokoknya pada jaman saya, setali itu yang paling kecil harganya, uang yang di pegang oleh Mbah Yai Manab itu banyak, dan yang dikasih ke saya adalah yang setali itu. Kata saya, yah lumayan lah, jadi pada waktu itu saya sering berteriak-teriak di depan Mbah Manab yang tujuannya agar beliau memberi saya uang. Saya juga masih ingat, ketika masih kecil, pada waktu itu Mbah Yai Abdul Karim sedang menderita sakit, yang mengantarkan beliau adalah ayah saya, biasanya ke daerah Senggoriti Malang guna berendam di air hangat yang bercampur dengan belerang. Saya juga masih ingat, Mbah Abdul Karim itu kalau bepergian kemana saja misalkan ke pengajian, maka yang berusaha membujuk agar beliau naik mobil tak lain adalah ayah saya, biar nyaman dan enak. Sebab ayah saya pada waktu itu sudah bisa nyupir mobil, entah merknya Cevrolet atau Dus, saya sudah tidak ingat, hal ini berawal dari rasa hormat dan cintanya ayah saya kepada Mbah Yai Abdul Karim, bahkan ayah saya sampai rela menyewakan mobil demi beliau. Tentu saja, orang yang di minta itu sangat senang sekali bisa mengantarkan Mbah Yai Abdul Karim kemana-mana, kalau tidak ada kendaraan, maka yang mengusahakan untuk mendapatkan kendaraan itu adalah ayah saya.

Yang masih di ingat lagi oleh saya, jika saya masuk ke rumah Mbah Manab, saya melihat beliau itu tidak pernah lepas dari yang namanya kitab, jadi beliau itu suka mutholaah, meskipun ada tamu yang datang, beliau akan bertanya, sampean dari mana? tapi matanya tidak pernah lepas dari kitab. Juga yang masih di ingat oleh saya, Mbah Yai Abdul Karim itu bantalnya terbuat dari kayu yang di legok tengah, jadi dari sini kita bisa tahu bahwa sesungguhnya Mbah Yai Abdul Karim itu tidurnya sangat sedikit sekali, sebab yang menjadi bantalnya adalah kayu, kalau sudah begitu kan secara otomatis bantalnya tidak di letakkan di tengkuk atau kepala, hal ini untuk mengurangi tidur. Berbeda dengan santri jaman sekarang yang untuk tidur saja mereka biasanya pakai bantal yang empuk, sedangkan Mbah Abdul Karim itu bantalnya atos (keras).

Dalam masalah makan-pun, Masya Allah, beliau itu tidak pernah makan dengan porsi piring besar, beliau makan hanya sedikit sekali, sering terlihat oleh saya kalau beliau makan biasanya menggunakan tiga jari. Memang beliau itu tidurnya jarang sekali, sehari semalam hanya beberapa jam saja, paling cuma 2 sampai 3 jam, maka banyak orang mengenal beliau sebagai sosok Kyai yang nggak pernah tidur. Tapi yah itu, selama beliau dalam keadaan terjaga, maka selama itu pula beliau tidak pernah lepas dari mutholaah kitab. Oleh karena itu tidak heran jika banyak para Kyai yang mengenal Mbah Manab sebagai sosok Kyai yang selain tidak pernah tidur juga tidak pernah lepas dari mutholaah kitab.

Hubungan Mbah Yai Abdul Karim dengan Mbah Yai Hasyim Asyari 

Hubungan Mbah Yai Abdul Karim dengan Mbah Yai Hasyim Asyari berawal dari Bangkalan, pada waktu itu sama-sama berguru ke Mbah Kholil, setelah Mbah Manab berada disana kemudian datanglah Mbah Yai Hasyim Asy’ari. jika di teliti, pada waktu mondok di Bangkalan, sebenarnya Mbah Yai Abdul Karim itu lebih senior ketimbang Mbah Yai Hasyim Asy’ari. Beberapa tahun kemudian, Mbah Yai Hasyim pulang dan menikah dengan orang Pagu Kediri (masih sepupunya Mbah Yai Sholeh) dan akan membuat Pondok di perempatan Kemuning, tapi nggak betah tinggal di Kediri, entah karena faktor apa saya tidak tahu, lalu Mbah Hasyim pindah ke Tebu Ireng, mendirikan Pondok dan mengajar di sana. Setelah memiliki banyak santri, Mbah Yai Abdul Karim (yang masih di bangkalan) mau pulang ke Magelang, sebelumnya Mbah Yai Abdul Karim mampir dulu ke Tebu Ireng ikut ke Mbah Hasyim selama tiga tahun, nah dari sinilah kita bisa mengetahui kalau Kyai Haysim itu memanggil Mbah Yai Abdul Karim dengan sebutan “kang” yakni kang Manab. Sebab saat itu namanya masih Manab bukan Abdul Karim, “Kang Manab..Kang Manab” begitulah Mbah Hasyim kalau memanggil beliau.

Saat di Tebu Ireng inilah Mbah Manab di lamar oleh Mbah Yai Sholeh. Awal ceritanya bermula dari Mbah Yai Sholeh yang saat itu seringkali istikhoroh mencari menantu untuk dinikahkan dengan putrinya (NYai Dlomroh) dengan alamat di kasih jago oleh Mbah Yai Hasyim Asy’ari, dengan alamat itu akhirnya Mbah Yai Sholeh datang ke Tebu Ireng guna bertanya ke Mbah Yai Hasyim.

“Mana calon menantu saya” kata Mbah Sholeh.

Pada waktu itu Mbah Hasyim langsung memanggil “kang Manab... kang Manab, ini-loh Mbah Sholeh calon mertuamu” sejak saat itu Mbah Sholeh mengambil Mbah Manab sebagai menantunya.

Tentang selisih umur tentunya Mbah Yai Sholeh lebih tua ketimbang Mbah Manab, selisihnya cuma sedikit, entah berapa tahun saya tidak tahu, tentang apakah Mbah Yai Sholeh itu masih punya hubungan kerabat dengan Mbah Yai Kholil bangkalan?, saya belum pernah mendengar riwayatnya. Yang jelas, sebagai kakek, Mbah Yai Abdul Karim itu sangat sayang sekali kepada cucunya, sehingga sewaktu saya berteriak “oe oe” saja beliau sudah ngasih saya uang. He he. (tertawa).

Tentang petuah-petuah atau nasehat yang disampaikan Mbah Yai Abdul Karim sudah banyak yang saya lupa, sebab pada waktu itu umur saya masih 5-6 tahunan, tentang pak Nawawi (Putra Mabah Manab), beliau itu meninggal dunia saat mondok di Makkah, saya pernah melihat beliau, tapi tidak begitu mengerti tahun berapa meninggalnya. Malah saya lebih mengerti Mbah Abdul Karim ketimbang pak nawawi.

Kenangan dengan Mbah Juki

Saya sejak kecil suka main ke ndalemnya Mbah Marjuki. Saya sering bermain dengan istrinya Yai Maftuh (Pendiri PP Unit MMQ Lirboyo-sekarang), yakni NYai Khotim, juga sering main dengan istrinya Yai Aziz (Pengasuh PP. Pacul Gowang Jombang-sekarang) yakni NYai Muslihah, jadi saya sangat akrab sekali dengan putrinya Mbah Marjuki Dahlan. Selain itu saya juga masih ingat kalau Mbah Yai Marjuki Dahlan itu suka nggak pake baju. Dulu kalau beliau keluar, penampilannya juga seperti itu sambil duduk di kursi depan, kalau saya masuk kerumahnya, saya sering melihat beliau membaca kitab, tapi kalau ada tamu yah ngobrol biasa, berbeda dengan Mbah Yai Manab, beliau khan kalau ngobrol nggak pernah lepas dari kitab, jadi kalau saya masuk kerumahnya, sering saya lihat Mbah Marjuki itu terus mutholaah kitab seperti Dalailul Khoirot atau membaca tasbih, begitulah kesan saya terhadap Mbah Marjuki  Dahlan.

Ada lagi kesan yang lain, ini sesudah saya menjadi menjadi pengurus pondok. Sebab pada waktu itu yang menjadi ketua pondoknya adalah Gus Ahmad Hafidz (Turus Gurah Kediri, salah satu cucunya Mbah Yai Manab). Dan beliau merupakan dzuriyah keturunan Lirboyo yang pertamakali menjadi ketua pondok, kenangan saya terhadap Mbah Yai Marjuki pada waktu itu saya masih suka main, saya di panggil oleh Mbah Kyai Marjuki  “Mam kamu ngaji dengan saya”

Saya taat, “Nggih Mbah, saya ngaji”,

Kemudian saya balik bertanya “Jam pinten Mbah (jam berapa ngajinya)?”

“Ba’da dzuhur” jawab beliau.

Pada waktu itu saya mengaji dengan Mujazid anak blitar, dua orang saja, ngaji kitabnya adalah Irsyadul ’Ibad, jadi pada waktu itu meski main kemanapun kalau sudah waktunya ngaji, saya cepat-cepat pulang, pinjem sarung, pinjem kopiah seadanya hanya untuk mengaji.

Cara mengaji Mbah Marjuki itu, pertama beliau membaca kitab, kemudian saya di suruh membaca, tapi ngajinya tidak banyak, paling banyakpun hanya lima baris. Hal itu berlangsung terus menerus seperti itu, sampai saya punya pikiran. Wah, kalau ngajinya cuma lima baris, kapan khatamnya? he he.. (tertawa) Meski demikian saya tetap mengaji kepada beliau.

Kesan yang lain terhadap beliau adalah saat pendirian kampus TRIBAKTI, pada waktu itu termasuk pendiri TRIBAKTI selain Mbah Yai Mahrus adalah Gus Ali Bakar dan Gus Ahmad Hafidz (tahun 1965), jadi saat pendirian TRIBAKTI itulah saya bisa tahu bahwa pemikiran Mbah Kyai Marjuki itu sangat berbeda dengan pemikirannya Mbah Kyai Mahrus.

Mbah Marjuki itu orangnya gak pernah keluar, kerjaannya cuma ngaji kitab sama jamaah, kecuali kalau ada undangan manten, sedangkan peran Mbah Mahrus, sejak jaman belanda dan jepang sampai NU beliau sering keluar dan aktif dalam kepengurusan NU,  jadi pas mendirikan TRIBAKTI itu sebenarnya Mbah Juki nggak setuju. tapi Mbah Mahrus punya alasan lain termasuk Gus Ahmad Hafidz yang tahu dunia luar, sehingga sangat mendukung sekali dengan pendirian TRIBAKTI itu, hal ini sangat kontras dengan Mbah Marjuki, beliau sebenarnya nggak setuju sebab kuliah itu merupakan metodologi pendidikan yang bertolak belakang dengan Pondok Pesantren, kalau kuliah kan pake celana panjang, pokoknya Mbah Juki itu nggak suka sekali sebab beliau itu orangnya sangat fanatik, jangankan mendirikan TRIBAKTI, radio saja beliau nggak mau, apalagi televisi, dan yang suka bandel itu istrinya Gus Maftuh, dia bawa radio dan televise kerumahnya, akhirnya karena kemauan anak, Mbah Marjuki cuma diam saja, tapi beliau itu sebenarnya memang nggak mau, cuma Mbah Mahrus tetap mendorong berdirinya TRIBAKTI dengan catatan harus dijauhkan dari pondok, alasannya supaya pengaruh lembaga pendidikan yang sudah modern pada waktu itu tidak mempengaruhi pola pendidikan Pondok Pesantren Lirboyoyang masih salaf.

Jadi pertimbangan Mbah Yai Mahrus mendirikan TRIBAKTI itu, karena banyak tamatan dari Pondok Pesantren Lirboyodan Pondok Pesantren lain, begitu tamat meneruskan jenjang pendidikannya di IAIN Kediri, sebab berdirinya IAIN itu lebih dahulu ketimbang TRIBAKTI, jadi amat disayangkan jika sudah tamat Lirboyo kok yang meneruskannya bukan kita sendiri, karena itu tidak heran jika TRIBAKTI di bangun tujuannya untuk menampung anak-anak tamatan Lirboyo, Lha pada waktu itu kan kuliahnya masih tiga tahun dan bi’ah. jadi saya itu mengenal pemikiran Mbah Juki dari situ. Awalnya memang Mbah Mahrus dan Mbah syafii Marjuki itu merupakan orang yang mendirikan IAIN dan termasuk salah satu pengajar di sana (sekitar tahun 64-65-an). Bahkan Mbah Mahrus pada waktu itu menjadi dosen dan mengajar di IAIN dalam bidang Tafsier dan ilmu hadits, bersama dengan teman-temanya dari organisasi NU.

Dulu, sering saya itu di tanya oleh Mbah Juki “Mam, piye Tribaktine”.

“Lumayan, tambah” jawab saya, sebab saya memaklumi kalau beliau itu belum banyak tahu permasalahan ini.

“wis lah setitik ae, meskipun yoh tambah akeh” kata Mbah Juki, pokoknya beliau itu nggak setuju, sebab saya dan orang-orang memaklumi kalau Mbah Juki itu nggak bakalan setuju dengan pendirian TRIBAKTI. Akan tetapi karena di tempatkan di luar Lirboyo dan di urus oleh Mbah Mahrus maka TRIBAKTI tetap berjalan normal. Pemikiran Mbah Juki itu saya maklumi sebab beliau sendiri tidak bisa bahasa Indonesia, kalau ada tamu yang memakai bahasa Indonesia, beliau biasanya memakai penerjemah, baca koran juga nggak bisa, pokoknya Mbah Juki itu tashawuf, berbeda dengan Mbah Mahrus, ayah saya itu bisa baca koran, sedangkan Mbah Juki yang bisa itu cuma baca kitab saja, jadi dalam istilah sekarang, bisa dikatakan bahwa Mbah Juki itu sosok ulama yang sufi. Maka tidak heran jika ada sesuatu yang berbau modern, maka Mbah Juki itu nggak bakal mau menerimanya.

Catatan lagi, saat mendirikan TRIBAKTI itu cucu Mbah Yai Abdul Karim belum ada yang menikah, yang sudah mungkin cuma Mbah Anwar saja (tahun 1962) dengan mbakyu saya, sedangkan TRIBAKTI itu didirikan pada tahun 1966. Sedangkan kenapa universitas itu dinamakan dengan TRIBAKTI, karena hal ini sudah di godok terlebih dahulu dalam sebuah forum Musyawaroh, Mbah Yai Mahrus termasuk yang ikut hadir, kemudian Mbah syafii Marjuki dan beberapa tokoh ahli organisasi NU termasuk mereka yang alim-alim diantaranya Mbah syafii Marjuki  (setono gedong) ikut membantu Mbah Mahrus sebab mereka sama-sama berkiprah di NU, dan beberapa orang yang ikut mengelola dan menjadi pengajar di TRIBAKTI seperti Dr. Suprapto. ada juga orang Lirboyo namanya Imam Basyari, dia termasuk yang membantu berdirinya TRIBAKTI, jadi Mbah Basyari itu pemikiran-pemikirannya sudah mengenal pendidikan umum.

Pendidikan Mbah Juki dan Mbah Mahrus terhadap anak anak

Mbah Kyai Marjuki itu ahli ibadah, seperti Gus Bahru (Alm, putra Kyai Marjuki) kalau di tinggal jamaah oleh Mbah Juki itu sampai menangis, sebab Mbah Kyai Marjuki itu orangnya halus, maka putra-putranya banyak di tempatkan di pondok pesantren seperti Kyai Idris dan yang lain-lainnya.

Kalau Mbah Kyai Mahrus itu orangnya keras dalam mendidik putra-putranya, di bentak, di pukul, saya teringat ketika mengaji mukhtashor jiddan kepada Kyai Mahrus, system yang diterapkan oleh beliau saya di suruh nggak boleh maknai, beliau bilang “nggak usah maknai, hafalkan” saya pusing kalau di suruh menghafalkan He he.. (Tertawa). Kalau salah, di bentak, sampai saya nangis pada waktu itu, sebab masih berumur sekitar 9 tahunan, sedangkan mbakyu saya yang menikah dengan Kyai anwar itu sudah pintar, dia mondok di jombang. saya diajari baca Quran, jadi sistemnya hafidz, setelah apal jurmiyah ganti dengan taqrib yang juga sama-sama di hafalkan. Pertama di suruh baca, pada waktu itu saya sudah hafal jurmyah, tapi belum paham. Disamping saya sekolah ke pondok induk. Bisa di maklumi lah, kalau sekolah di tempat sendiri agak kurang tertib, jadi pas kelas 3 saya mencolot (naik kelas) sendiri, hehe (tertawa). gak pakai aturan, jadi saya pada waktu itu sangat payah sekali dalam ketertiban sekolah, dari kelas 2 langsung naik kelas 4, naik sendiri ke kelas 5, terus begitu, prinsip saya paham gak paham saya tetap sekolah tapi yah itu mencolot-mencolot, nah pada waktu saya kelas 2 tsanawiyyah saya berhenti sekolah karena pergi ke Sarang.

Ada pengalaman tersendiri saat saya pergi mondok ke Sarang itu, masya Allah. Bukan saya merasa pintar atau apalah, jadi ke Sarang itu berkat doa ibu saya, pada watu itu saya berangkat malam jumat ke Surabaya, pas di daerah trowulan saya seperti mendengar bisikan gaib berbunyi “mondok’o dino minggu jangan bilang siapa-siapa” esok harinya pas pagi pagi saya pusing, gelisah, jika ingat terhadap bisikan gaib yang terus terngiang dalam telinga saya, akhirnya hari minggu saya minta ke supir supaya mengantarkan saya ke daerah Tambak Beras Jombang, pada waktu itu saya tidak membawa bekal uang karena gak punya, jadi keberangkatan saya itu gak bilang siapa-siapa bahkan nggak pamitan sama ayah saya, pokoknya keberangkatan saya pada waktu itu tidak diketahui oleh siapa-siapa, sehingga ada bisikan “jangan bilang siapa-siapa”, jadi gak ada yang saya pamiti, saya cuma bilang kesupir suruh mengantarkan saya, setelah itu nggak tahu tujuan saya kemana, karena bingung, yah ajaib, pas waktu ashar saya tiba di Sarang, ketika saya turun dari bis, “plek” ada Kyai Zuber, (ayahnya Kyai Maimun) beliau tepat berada di depan saya. sepulang dari sholat ashar, masya Allah, saya salaman dan di tanya “sopo iki?” saya jawab “kulo saking Lirboyo, iki ki Mahrus”

Beliau manggut manggut “ooh, yo wis kono, nyang nggone Kyai Maimun kono” lantas saya ke tempatnya Mbah Maimun, jadi pas awal saya mondok, merasa betah di tempatnya Mbah Maimun, kemudian ayah mencari saya, selama tiga bulan saya di Sarang, ayah nggak tahu kalau saya di sana, kemudian ayah ke Indramayu dan menemui saya di Sarang, jadi setelah 3 bulan saya berada di Sarang, baru saya di ketahui orang tua saya. Pada waktu itu sekitar tahun 1967 sampai 1971, saya disarang seangkatan dengan Mbah Hamid Baidlowi, jadi Mbah Maimun pada waktu itu sudah punya banyak putra dan mengajar saya, yang menjadi teman saya pada waktu itu Mbah Hamid Baidlowi lasem, jadi kalau di runut sejarahnya, yang pertama kali merintis pondok al-Anwar Sarang yang diasuh Kyai Maimun Zuber termasuknya adalah saya. Pada tahun 1970, setahun kemudian, setelah ngurusin pondoknya Mbah Maimun, saya pulang, jadi berdirinya pondok al-Anwar Sarang itu pada tahun 1970 dan saya pulang tahun 1971.

Saya juga teringat sewaktu mondok di Sarang, pertamakali datang di pondoknya Mbah Kyai Maimun itu, saya merasakan di-didik betul oleh beliau, setiap pagi saya mengaji kitab Ibnu Aqil sampai khatam, bersama Mbah Hamid Baidlowi (Lasem), gus pahim (jember), tapi yang mengajinya sampai khatam cuma saya. Nah, sistem mengajarnya Mbah Kyai Maimun juga sama dengan metodologi yang dipakai Mbah Kyai Mahrus, jadi hari ini saya di bacakan kitab, besoknya saya di suruh membaca, dan sistem keduanya yang sama dengan Mbah Yai Mahrus adalah nggak boleh di maknai. Masya Allah, pusing saya, jadi saya di suruh menghafalkan, lha saya khan pada waktu itu sudah hafal Alfiyah, jadi di samping saya membaca kitab juga di suruh menghafalkan. Alhamdulillah, dari system semacam itulah saya paham, ngerti dengan ilmu nahwu shorof, hadits dan lain sebagainya. Adalagi suatu metode sewaktu saya mondok di Makkah ngaji dengan Kyai Idris (beliau berasal dari Cirebon dan menetap di Makkah), kalau mengaji pada beliau sitemnya bukan pegang nadzoman, jadi sitemnya, saya di suruh menghafalkan terlebih dahulu, baru setelah itu mengaji pada beliau, saya mengaji pada Mbah Kyai idris Cirebon, ngaji Jauharul Maknun, saya di Tanya, “Sudah hafal belum?” “Belum”, kata saya. kemudian saya di suruh menghafalkan, setelah hafal baru beliau mau mengajar ngaji, jadi sitem ini sangat bagus sekali, kalau mau ngaji Imrithi, Alfiyah sebaiknya di hafalkan dulu, system semacam ini yang mempermudah seseorang cepat paham, jadi metodologi pendidikan yang diterapkan di Pondok Pesantren Lirboyoadalah semcam itu, kalau masuk kelas 1 tsanawiyyah di anjurkan hafal lebih dulu, sekitar 150 bait, sebab metode semacam itu menganut pada system belajarnya orang kuno.

Begitulah yang di ajarkan guru-guru saya, pertama Mbah Mahrus, Mbah Maimun, kemudian Mbah idris, metode belajar yang diterpkan saya di suruh menghafalkan terlebih dahulu, maka tidak heran jika saya menjual ke anak murid itu adalah metode mengaji yang semacam itu. Sebab yang saya rasakan, sitem metodologi pembelajaran semacam itu membuat saya lebih cepat memahami pelajaran. Jadi hari ini saya suruh anak murid membaca kitab, tapi saya belum tega menyuruh orang jangan memaknai kitab, yah biarlah anak anak memaknai dulu itu, nggak apa apa. Sebab sitem pembelajaran semacam itu memang sangat luar biasa dan menancap di hati, hal ini yang akan membuat para murid mesti deres, sebab apa?, soalnya besok khan terkena khitob di suruh membaca di hadapan Kyai, jadi malamnya yah, pasti anak murid akan muthola’ah kitab.

Dan memang, Harus diakui bahwa dintara guru-guru yang paling berkesan bagi saya adalah ayah saya sendiri, dan Mbah Kyai Maemun Zuber yang telah mengantarkan saya bisa seperti sekarang ini. Selain itu sifatnya hanya tambahan saja, seperti bisa kuliah keluar negeri dan yang lainya.  Sebab beliau-beliau itulah yang menjadi hati saya, selain tentunya juga pernah tabarukan kepada Kyai Marzuki, tabarukan kepada Mbah Kyai Maksum Lasem, tabarukan kepada Mbah Bisri Syansuri Jombang.


Keluarga dan pesantren di cirebon

Mbah Kyai Mahrus itu punya ayah namanya Kyai Ali (berasal dari indramayu) kemudian diambil mantu oleh Kyai said, sedangkan Kyai said itu punya putra antara lain Kyai sirodj, jadi ibunya Kyai Mahrus itu kakak beradik dengan Kyai sirodj, jadi kami dengan keluarga pak said aqil itu sekakek, Kyai sirodj menurunkan Kyai Sa’id, sedangkan Kyai Mahrus menurunkan saya, Sebenarnya pesantren-pesantren yang ada di cirebon itu banyak yang saling terkait.

Saya punya cerita yang sangat menarik dari Kyai said, Mbah Kyai said itu di beri kepercayaan oleh kraton pasundan supaya mengelola kraton cirebon, jadi beliau sangat dekat sekali dengan kasepuhan, yang menarik lagi, Mbah Kyai said itu istikhoroh tentang siapakah yang pantas menjaga al-Quran di tanah jawa. Kemudian beliau di beri alamat namanya al-Munawwir yang pada waktu itu sedang mondok di mekkah. Nah Kyai said kan pada waktu itu belum kenal sama Kyai Munawwir, tapi anehnya Kyai said sudah memberi uang kepada Kyai Munawir (yang sedang mondok di Makkah) meskipun mereka belum mengenal satu sama lain, saat Kyai Munawwir datang ke Indonesia, maka yang pertama kali di datangi bukan jogja tapi langsung ke rumahnya Kyai said di Cirebon, sebab ia ingin tahu sebenarnya siapa orang yang selama ini sering mengirimkan uang kepadanya, belum kenal kok sudah mengirim uang, setelah bertemu, Kyai Said mengantar Kyai munawwir sampai ke krapyak jogja, dulu tempatnya bukan di krapyak tapi di sebelahnya krapyak, setelah itu Kyai munawwir punya keinginan untuk mendirikan pondok, pada waktu itu Kyai Munawwir khan nggak punya tanah, akhirnya oleh Kyai said di carikan tanah yang lokasinya berada di krapyak, kemudian tanah yang di beli oleh Kyai said itu sekarang di jadikan masjid, itu dulunya di beli oleh keluarga dari cirebon kemudian Kyai munawwir di tempatkan di sana, tepatnya berada di atas areal pondok krapyak tadi, jadi kalau ada orang yang bertanya bagaimana itu Kyai munawwir kok bisa ada di sana, sebab sejarahnya berawal dari sini, jadi pesantren krapyak jogja itu yang mendirikan pertama kali adalah Kyai said, saat beliau mengirim uang ke Kyai munawwir (di mekkah) itu, Kyai said sudah mengasuh Pondok Pesantren di Cirebon.

Pesan dan Kelebihan KH. Mahrus Aly

Saya khan anak laki-laki yang paling besar, jadi sangat tahu kehidupan Mbah Kyai Mahrus, beliau kalau ngaji sering nggak khatam, hal ini di karenakan kesibukan beliau mengurus NU, Mbah Kyai Mahrus sendiri kalau kedatangan tamu yang sudah alumni baik dari Jawa Barat maupun Jawa Timur dan lain sebagainya, beliau setiap kali bertemu dengan alumni itu yang di tanyakan adalah “Kamu ngajar apa? Kamu mulang opo?” Dari situ kalau jawabannya belum mulang atau mengajar, biasanya di nasehati, di marahin anak anak itu. “Ngaji.!! punya ilmu kok nggak di sebarkan”. Jadi semuanya itu di suruh mengajar ngaji, kalau sudah begitu insya Allah ada hasilnya “Kalau ilmunya ingin barokah, kamu harus mengajarkan ilmu yang sudah kamu dapat” itu adalah pesan yang sering di sampaikan oleh Mbah Kyai Abdul Karim, jadi Mbah Mahrus itu kalau setiap ada alumni yang pulang biasanya berpesan “Kamu kalau sudah datang kerumah jangan bekerja dulu tapi harus mengajar ngaji dulu biar kamu dapat barokah sebab ilmu yang di amalkan”. Itulah pesan yang selalu teringat oleh saya.

Di samping nasihat dan pesan yang di sampaikan oleh Mbah Kyai Mahrus, saya juga banyak mengetahui tentang sepak terjang beliau yang berjuang demi NU dan selalu membela kepada Islam, jika beliau mendengar ada seseorang terutama para Kyai kok dimusuhi pejabat-pejabat, maka sikap beliau akan sangat marah sekali, sebab bagaimanapun juga, peran Kyai terhadap bangsa ini sangat besar, bahkan beliau berani menentang para pejabat-pejabat itu baik di kalangan atas maupun tentara, Mbah Mahrus itu benar-benar siap menghadapi para pejabat yang suka memusuhi para Kyai, memang beliau itu orangnya sangat pemberani dan sangat pandai sekali dalam berkomentar terhadap segala apapun, jika berhadapan dengan para pejabat, ilmu mantik dan balaghoh Kyai Mahrus akan sangat menonjol sekali, sehingga tidak aneh jika banyak dari kalangan pejabat yang menaruh rasa hormat kepada Mbah Mahrus, hal ini tak lain karena loghika yang dipakai Mbah Mahrus itu sangat tinggi, kalau ada sesuatu yang nggak bener, lalu Mbah Mahrus ngomog maka sesuatu itu akan menjadi benar.

Permasalahnnya kan pada waktu itu banyak peristiwa yang mendiskriditkan orang islam diantaranya adalah munculnya kelompok DI TII (Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia), pada waktu itu banyak pondok pesantren yang di anggap sebagai Sarang dari kelompok DI TII, Lirboyojuga pada waktu itu termasuk salah satu pondok pesantren yang di selidki, tapi Mbah Kyai Mahrus tetap membela orang-orang islam yang didiskriminasikan itu. Terlebih setelah peristiwa gestapu, Mbah Mahrus diisukkan sebagai komando jihad yang membawahi orang-orang islam, maka tidak heran jika saat itu banyak para Kyai yang ditangakap oleh pemerintah, akan tetapi karena peran Mbah Kyai Mahrus, maka banyak para Kyai yang di keluarkan dari tuduhan dan penangkapan yang sudah marak kemana-mana, akibatnya justru hal ini membuat Kyai Mahrus diisukan oleh PKI sebagai komando jihad bagi orang orang islam.

Diantara kelebihan yang dimiliki oleh Mbah Mahrus, beliau itu sangat akrab dengan para pejabat, siapapun orangnya pasti merasa segan kepada Mbah Mahrus, meski pada dasarnya beliau itu orang yang bertabiat keras, dari dulu seperti para panglima, gubernur, dan para pejabat Negara sangat menaruh hormat pada beliau. Permasalahannya jika di suatu daerah terdapat suatu problematika yang tidak bisa ditangani langsung oleh pemerintah, maka yang di suruh menyelesaikan dari kalangan ulama itu tak lain adalah Mbah Mahrus, setelah beliau terjun ke lapangan, anehnya pemikiran beliau itu sering di pakai dan di terima oleh masyarakat setempat.

Pada waktu itu memang Mbah Mahrus ikut mendirikan embrio berdirinya pasukan 508, yang di kepalai langsung oleh mayor mahfudz, dulu  di daerah Kediri ada suatu markas 508 yang kemudian di gabung dengan Brawijaya, pada waktu itu beliau mendirikan pasukan 508 guna menghadapi pasukan tentara belanda dan jepang, maka dikemudian hari Mbah Mahrus dijadikan sebagai penasehat khodim brawijaya. (508 tempatnya selatannya SMP kalau sekarang banyak rumah tentara nah di situlah markasnya).

Mengenai Situs bersejarah di Pon Pes Lirboyo

Adapun mengenai kenapa di Lirboyo banyak diantara bangunan kuno atau situs-situs bersejarah yang dilestarikan, tidak dibongkar, seperti gerbang tua atau pondok lama misalnya, itu sebenarnya hanya untuk kenangan saja, sebagai kenangan bahwa dahulu tempat-tempat tersebut merupakan awal mula bangunan yang ada di pondok ini.

Kalau tentang kenapa pohon kelapa yang dulu ada didepan mesjid Lirboyoitu tidak ditebang tatkala memperluas bangunan serambi mesjid, waqila, entah yang nanam pohon kelapa itu Mbah soleh atau siapa. Yang jelas ada yang mempercaYai bahwasanya kelapa dari pohon itu bisa dijadikan sebagai obat, sehingga tatkala disitu akan dibangun perluasan serambi, oleh Gus Maksum tidak boleh ditebang.

Mengenai pohon-pohon kelapa yang banyak tersebar di Pondok Lirboyomemang dulunya yang nanam adalah Mbah Yai Abdul Karim. Jadi dahulunya buah dari pohon-pohon kelapa itulah yang menjadi penghasilan Mbah Abdul Karim untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari beliau.

Lantas kenapa sumur tua yang berada di sebelah utara masjid itu tetap di lestarikan? Alasannya tak lain karena itu merupakan situs bersejarah yang sudah ada sejak zamannya Kiai Sholeh. Pada umumnya, jika mendirikan masjid itu disekitarnya pasti terdapat sumur. Kemudian dizaman Belanda dan dizaman jepang, banyak dari santri Lirboyoyang ikut membantu pemerintah guna melakukan penyerbuan dan perlawanan yang bergabung dengan para pejuang lainya dari berbagai daerah. Sebelum mereka diberangkatkan Ke Medan perang, terlebih dahulu santri-santri tersebut mendapat gemblengan dari para kiai yang berasal dari mana-mana, tidak kurang dari Empat Kiai pada waktu itu. Diantara gemblengannya mereka diberi air yang diambil dari sumur tua tersebut. Ada yang dari surabaya, dari cirebon. Selanjutnya supaya lebih praktis, diantara kiai yang memberikan gemblengan tersebut mengusulkan, dari pada repot-repot menimba air dari sumur, lebih baik disiasati sumurnya saja yang diberi asma’ oleh para kiai termasuk kiai Mhrus, sehingga santri-santri yang hendak berangkat berperang tinggal ngambil sendiri air asma’nya dari sumur tua tersebut.

Dari situ, maka sampai sekarang air dari sumur tua dipercaya dapat membuat krasan santri-santri yang tidak betah mondok, sehingga anak-anak santri yang belum krasan mondok di Lirboyodianjurkan banyak-banyaklah minum air dari sumur tua itu. Selain itu, air tersebut juga dipercaya bisa dijadikan sebagai obat. Hal yang menarik lagi, di dalam pondok pesantren Lirboyojuga banyak melestarikan pohon pohon kelapa, hal ini sebenarnya di tanam oleh guna dijadikan penghasilan keluarga Mbah Yai Abdul Karim, dan memang semua tanah beliau adalah milik pribadi, jadi dari situlah saya bisa mellihat bahwa berdirinya sebuah pondok pesantren tak lepas dari awal mula pengorbanan sang Kyai, Pondok pesantren HM itu semua tanahnya milik pesantren kemudian dibuatlah mushala, di buatlah pondok dan kemudian dikembangkan, jadi bukan titipan dari siapa-siapa, maka dari itu jika ingin mendirikan pesantren ya harus berkorban lebih dahulu, berbeda dengan lembaga penididikan yang lainya, seperti halnya madrasah-madrasah yang kebanyakan didirikan diatas tanah wakafan, disamping ada juga tanah milik pribadi sang Kyai, contoh saja seperti pondoknya Kyai anwar yang didirikan diatas tanah milik pribadinya, lalu dia kembangkan untuk kemajuan pesantren, pondok HY juga begitu, gus atho’, saya sendiri, semua tanah itu di gunakan sebagai pondok, di mana-mana begitu, dan ini merupakan salah satu dari ciri khas pondok pesantren salaf yang tidak di miliki oleh lembaga pendidikan lainnya, makanya ada orang yang mengatakan bahwa pondok pesantren merupakan sebuah kerajaan kecil, sebab apa yang di miliki oleh Kyai-nya tidak bisa di ganggu gugat, sebab semuanya berasal dari harta milik pribadinya, ngajar sendiri, kemudian dalam pengembangannya barulah ada orang yang nitip ini, nitip itu dan lain sebagainya, oleh karena itu banyak orang yang datang kepada saya bagaimana cara mendirikan sebuah pesantren, lalu saya sarankan berkorbanlah terlebih dahulu, kamu beli tanah lalu membuat mushola yang di gunakan untuk mengaji, kemudian bangunlah kamar-kamar para santri, sebab semua itu meruapakan awal mula dari berdirinya pondok pesantren salaf.

Lirboyo Di Jaman Orba

Dijaman orde baru, banyak bermunculan ninja-ninja misterius yang membunuh para Kyai, pada waktu itu tidak ada pengaruhnya pada kegiatan sekolah di MHM. Kegiatan belajar mengajar tetap bisa berjalan dengan baik. Hanya saja kami tetap waspada dan berjaga-jaga, jangan sampai ninja-ninja itu dapat masuk ke kawasan Pondok Lirboyoini.

Saya sendiri tidak tahu siapa dalang di balik penggerak ninja-ninja itu. Tapi saya dengar fenomena ninja waktu itu merupakan upaya dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang hendak mengkacau balaukan negeri ini. Mereka disusupkan diantaranya ke Pondok pesantren, mereka ini telah dibekali dengan ilmu-ilmu yang sudah komplit. Nggak tahu apa tujuan mereka, soalnya dari aksi mereka belum ada yang mengakibatkan pembunuhan, atau bisa jadi aksi mereka hanya untuk unjuk kekuatan atau kemampuan dengan latarbelakang ilmu kanuragan. Memang, kalau satu-dua orang ada yang yang terbunuh menjadi korban mereka, namun itu hanya satu-dua saja, selebihnya, mayoritas dari mereka hanya hanya membuat kekacauan-kekacauan saja. Nah, diantara ninja-ninja itu ada yang pernah tertangkap. Ternyata mereka disamping punya ilmu, juga dibekali dengan peralatan canggih, ada yang kulitnya dibalut dengan semacam karet, sehingga jika dia dipukul tidak apa-apa. Kemudian ada ninja yang tertangkap di Lirboyo, ternyata sekujur tubuhnya dilapisi dengan karet, yang punya alat seperti itu, kalau tidak dari ”angkatan” yah, tidak ada yang punya. makanya dikatakan misterius.

Saya pernah punya karetnya. Jadi setelah dia (ninja) itu mati karena yang dipukul kepalanya tidak badannya, ya badanya itu memang dilapisi karet sehingga kalau dipukul tidak apa-apa. Di samping dia juga memiliki ilmu kanuragan yang sudah hebat, punya ilmu batin, punya siasat-siasat penyusupan dan dia juga bisa menghilang. Hebatnya lagi, kalau tertangkap ketika diintrogasi marinir, dia tidak mau mengaku.

Kegiatan Pramuka di Lirboyo

Pramuka itu singkatan dari PRAJA MUDA KARANA, pada waktu itu kalau tidak salah Presiden Soeharto memerintahkan kepada semua lembaga pendidikan supaya membentuk Praja Muda Karana yang disingkat dengan Pramuka (tahun 1965-1966). Tujuanya tak lain guna membantu kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan dan menolong orang-orang yang sedang terkena musibah. Waktu itu semua lembaga tanpa terkecuali dihimbau agar membentuk Pramuka. Akhirnya Lirboyoikut membentuk apa yang dicanangkan oleh pemerintah. Sekarang foto kenanganya masih ada. Ada saya, Pak Anwar, Pak Idris, pak aziz berpoto mengenakaan pakaian PRAMUKA serta berdasi. Sedangkan program kegiatan-kegiatanya kala itu seperti pramuka-pramuka yang lainnya. Sehingga tidak aneh jika sampai saat ini semua aktivitas yang berhubungan dengan kegiatan sosial dan kemasyarakatan (acara-acara ekstrakurikuler dan umum) serta pembekalan ilmu-ilmu keterampilan untuk anak santri semuanya dilimpahkan pada pramuka sendiri.

Kebesaran Lirboyo

Kalau menurut saya, pondok Lirboyoitu, kedepan bisa menjadi besar tapi bisa pula menjadi hancur. Sering saya sampaikan pernyataan itu untuk mengantisipasi keberadaan pondok pesantren Lirboyo. Sebagai contoh misalnya, pondok yang diasuh Mbah Kyai Kholil bangkalan, setelah ditinggal wafat kiai Kholil pondoknya tidak eksis lagi atau malah mati. Contohnya lagi Pondok Pesantren yang ada di Rembang, Yaitu pondok kasingan yang di pimpin oleh Kiai Kholil. Sepeninggal Kia Kholil Kasingan, ternyata pondoknya tidak berkembang lagi.

Kemudian contoh yang ketiga adalah pondok pesantren asuhan Kiai Muklas di Tegal. Dulunya besar, bahkan ada yang mengatakan bahwa yang mengislamkan orang-orang Tegal tak lain adalah Kiai Muklas. Tapi sepeninggal Kiai Muklas, pondoknya juga mati, tidak muncul lagi.  Begitu pula dengan Pondok Pesantren Lirboyo, kalau saya lihat dari generasi kegenerasi, Insya Allah Lirboyomasih bisa bertahan, berlangsung. Dan Insya Allah para generasi penerus pondok ini siap ngopeni kesalafan Lirboyo. Jadi sampai generasi sekarang, Yaitu generasi ketiga, seperti Mbah Yai Idris, Yai Anwar, Yai Kafabi dan lain sebagainya tetap berpegang teguh pada nilai-nilai salaf.

Nah, untuk sekarang ini pandangan saya untuk generasi ke-empat Lirboyo, bahwa kader-kader salafinya masih banyak. Jadi saya tidak khawatir untuk Lirboyoakan kehabisan kader-kader salafi dalam meneruskan Ma’had Salafiah-nya. Harus diakui bahwa pada awalnya semua pondok-pondok pesantren yang ada di NU itu semuanya adalah Salafi. Kemudian karena ada perkembangan zaman, pondok-pondok salafi tersebut dimasuki oleh ajaran formal, sebagaimana pondok-pondok pesantren yang ada di Jombang itu, dulunya adalah salafi murni. Dengan tambahan pendidikan formal, immaa bisa mengangkat pondok pesantren salafi,  wa immaa  bisa menghancurkan pondok pesantren salafi. Itu menurut saya. Contohnya lagi seperti pondok di kasingan, salafinya mati gara-gara adanya formal. Itu perkiraan saya, jadi pendidikan formalnya tumbuh tapi salafinya yang mati. Contoh lagi dalam masalah ini misalnya pondok Tebu Ireng, banyak pera ulama yang memikirkan pondok yang satu ini sebab pengasuhnya saja sekarang itu adalah Gus Sholah, dan beliau itu aslinya tidak berlatar belakang pendidikan pesantren, tetapi sekolah umum dan bergelar insinyur.

Sekarang ini pendidikan salafnya Tebu Ireng sudah mulai hilang, karena yang murni salaf telah dimasuki lembaga-lembaga pendidikan yang formal. Padahal Kyai dan ulama mana yang tidak keluaran pondok pesantren salaf?, banyak para Kyai-Kyai besar dulu yang jebolan pesantren salaf, Mbah Kyai Romli semisal. Nah sekarang itu Tebu Ireng sudah berubah 180 derajat, saya tahu sendiri sebab saya pernah di undang dalam rangka untuk meMbahas persoalan ini yang kemudian mendapat tanggapan serius dari para santri dan para Kyai Kyai yang jebolan sana. Tapi akhir-akhir ini rupanya, masalah ini akan kembali kepada salaf lagi dengan adanya upaya-upaya seperti adanya Ma’had Aly, ada juga Muta’alimin, katanya itu akan di hidupkan kembali, namun sampai sekarang masih belum bisa bergerak, sebab banyak dari santri-santrinya yang sekarang sudah tidak salafi, begitulah, tapi masih ada juga orang-orang lama yang ingin menghendaki kembalinya nuansa salaf, hanya saja animonya masih kurang.

Sebuah pondok pesantren yang bernuansa salafi itu mempunyai sesuatu yang spesifik didalamnya, termasuk yang dimiliki Lirboyo, spesifiknya adalah bidang Ilmu Nahwu dan ilmu fiqih yang dipertahankan oleh Lirboyo. Meskipun ada juga tentang ilmu alqur-an dan lainya, hanya saja secara spesifiknya, Lirboyolebih mengorientasikan kepada ilmu Nahwu dan Fiqih. Akhirnya kita bisa melihat sekarang, banyak orang yang kini menuntut ilmu qowaid dan ilmu fiqih di Lirboyo. Hal ini sama dengan kurikulum yang diterapkan di pesantren Ploso, hanya saja Lirboyoitu kadang lebih menonjol di bidang Qowaid dan ilmu fiqh-nya.

Disamping itu, saya juga melihat pesantren-pesantren lainnya, seperti Pondok Sarang dan lain sebagainya, alasan mereka mempertahankan salafnya itu kadang-kadang para santri melihat kepada sisi barakahnya, dan ini merufakan fenomena yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan manapun di dunia, jadi banyak orang yang mondok di Lirboyotapi merasa dirinya kurang dalam hal belajarnya, dilalahnya, Begitu pulang malah jadi seorang Kyai, begitu mereka pulang bisa memberi manfaat kepada masyarakatnya. faktor inilah yang masih banyak dipercaYai oleh orang-orang yang pernah mondok di pesantren-pesantren salaf diantaranya di Pesantren Lirboyodan Pesantren Sarang. Jadi, unsur ”Barakah” inilah yang tidak dimiliki oleh Lembaga Pendidikan Modern. Jadi tidak ada istilah barokah kalau mondok di Gontor misalnya, mereka di rumah menjadi orang yang bermanfaat bagi masyarakatnya, kemudian mengatakan bahwa kesuksesan ini meruapakan berkah mondok saya, ini khan nggak ada, namun orang-orang salafi masih mempercaYai keberkahan mondok di pesanttren salaf, sebab masih ada unsur barakahnya. Disamping itu, mondok di Pesantren Salafi juga dipimpin oleh seorang Kyai yang Min ‘Auliya Illah, nah, animo dari masyarakat yang banyak memondokkan putra putri mereka hingga saat ini karena faktor itu juga.

Tentang Gus Harun

Mengenai Almarhum Gus Harun, dia itu orang yang oleh ayah saya dituruti kemaunya belajar di sekolah umum. Dia memang pernah berkesempatan menyelami pendidikan formal pada waktu itu, dengan mengambil jurusan ekonomi. Karena ada TRIBAKTI itu, jadi Mbah Yai Mahrus mempersiapkan dia untuk mengelola fakultas TRIBAKTI, tentu saja harus menyamakan fisi di kemudian hari, dan sebenarnya Gus Harun-lah yang telah dipersiapkan oleh Mbah Yai Mahrus membawa dan mengatur TRIBAKTI, bukan karena umumnya beliau mepersiapkan Gus Harun, namun terkait dengan masalah cara-cara, sebab, tentunya saja harus dikelola dengan Managemen yang bagus.

Kalau menurut saya, sebenarnya itu hampir sama, antara kuliyah dengan di SD, bukankah itu sama-sama sekolah, sama saja itu. Hanya saja jenjang kuliah itu sebenarnya memang dikelola oleh orang-orang yang sudah tinggi dan mempunyai semacam sistem sendiri. Tsanawiyyah Lirboyodengan TRIBAKTI yang jenjang kuliyyah, itu sebenarnya sama saja. Jadi bukan berarti antara sekolah dengan kuliyyah berbeda itu ndak, saya kira cuma namanya sajalah. Ada orang di Lirboyotidak mau kuliah, lawong sama-sama sekolahnya ko’, pandangan semacam ini kalau menurut saya masih termasuk sebuah kekeliruan. Misalkan sekarang ada yang sekolah tsanawiyyah, melanjutkan di jenjang Aliyyah setelah itu melanjutkan ke jenjang kuliyyah, semuanya masih sama-sama sekolahnya khan.

Dari sini sebenarnya memang ada sebuah sistem yang membedakan dengan jenjang Kulyah yang dimiliki oleh sebuah perguruan tinggi, sebab sebuah Universitas itu menganut pada sebuah aturan prosedur. katakanlah biar dapat title, gitu ajalah gampangannya, kemudian disesuaikan dan diakui oleh dunia Internasional. Kalau jenjang Tsanawiyyah dan Aliyyah itu masih belum ada titel, masih dalam tahap sekolah, tentunya dalam dunia perkuliahan terdapat sebuah penyampaian secara global, yang tidak terlalu dituntut seperti di Jenjang Tsanawiyyah dan Aliah, sebab anak-anak yang kulyah itu dianggap sudah dewasa dan mampu menyampaikan suatu masalah dengan cara yang berbeda, yang biasanya disampaikan untuk dikaji dengan pemikiran-pemikran tertentu serta banyak mengacu pada berbagai referensi yang mereka baca, Nah, dari sini kita bisa melihat bahwa sebenarnya yang membedakan itu hanya sistemnya saja, umpama jenjang Aliyyah di-percis-kan dengan Kuliyyah, ini sebenanya bisa, hanya saja anaknya itu yang belum mampu ke sana sebab pemikirannya masih belum dewasa.  Jadi yang mebedakan antara kulyah dan yang tidak itu hanya sebatas pada titelnya saja.

Harus diakui dalam masalah titel itu, dulu pernah saya sampaikan. Seperti contohnya di Universitas Al-Azhar sendiri, pada awalnya Universitas yang ada di mesir itu mengeluarkan sebuah titel, begitu tamat dari sana ada gelar “Syaikh”, “Syaikhul Masayikh”, atau ”ustadz musa’id” dan lain sebagainya, jadi sebenarnya memang gelar itu hanya diberikan kepada mereka yang jenjang pendidikannya lebih tinggi dari jenjang Aliyyah, dalam hal ini saya kurang setuju jika ada yang mengatakan “Kuliyah itu untuk apa?” pemikiran semacam itu keliru. Bahkan sekarang itu banyak didunia Internasional, khususnya di Negara arab, terdapat ulama-ulama yang terkenal mendapat gelar setelah mereka mengikuti jenjang kuliyah disana. Sebab di dunia Arab sendiri yang semacam belajar seperti dulu-dulu itu sepertinya sudah tidak ada, jarang sekali, seperti halnya di Makkah, disana ada ”Al-Alawi Al-Maliki”, itu dulu sebenarnya memang semacam Pondok Pesantren.Tapi pondok pesantren semacam itu sekarang sudah tidak ada, jarang sekali, sebab sudah beralih kepada masalah kuliyah.

 Oleh karena itu, jika setelah kesana ada yang sinis kemudian bilang “doktor? halah gelar apa itu?”, nah, itu namannya tidak memahami perkembangan pendidikan. Sebab ini merupakan sebuah perkembangan pendidikan baik di dalam islam maupun di luar islam, dan sudah bertahun-tahun lamanya Universitas Al-Azhar berdiri, dan sekarang ini jenjang pendidikan-nya malah lebih tinggi. Ulama’-Ulama’ disana itu kalau sekarang mempunyai profesi, semuanya rata-rata mempunyai gelar tertentu, ada yang pengarang tafsir dan banyak lagi keahlian yang mereka miliki. Kemudian diikuti oleh Negara-negara yang lain seperti yang sekarang ada di Saudi Arabia, di Madinah dan diberbagai Negara lainya, irak, suriyah, lebanon dan lain sebagainya.

Jadi dalam masalah jenjang kuliyyah itu sendiri sebenarnya berfungsi sebagai penerus guna mendalami suatu agama dengan sistem yang sebenarnya sama dengan sekolah-sekolah lainnya. Menurut saya begitu, dan memang kenyataanya begitu. Malah mereka lebih bagus lagi sebab di bimbing oleh seseorang yang lebih tinggi keilmuanya, artinya anak anak yang kulyah itu di-didik oleh seorang yang lebih alim, oleh seorang guru yang secara khusus menyuruh mereka membuat semacam kepenulisan kemudian didiskusikan. Kalau masalah Kyai-Kyai zaman dahulu khan tidak seperti itu, seperti Syaikh Nawawi banten, beliau mengarang kitab, tapi kitabnya tidak didiskusikan lebih dahulu, sebab beliau sudah memiliki tingkat keilmuan yang sangat tinggi, jadi kalau Kyai-Kyai itu apakah ada yang seperti Imam Ghozali dan ulama-ulama besar lainnya.

Menurut saya, dalam permasalahan pendidikan agama itu harus lebih fokus, kemudian ada seorang pembimbing yang ilmunya lebih tinggi. Kalau, banyak alim ulama di tanah jawa itu mengarang kitab, itu khan apa pernah didiskusikan salah benarnya kitab yang mereka karang, paling-paling disitu terdapat keterangan, jika ada  kesalahan mohon dibenarkan, dan untuk mempertanggung jawabkan hal semacam itu masih belum bisa karena kemampuan yang mereka miliki belum pernah dimunakhasih. Paling-paling ada seorang ulama’ yang diminta meneliti, nah, yang meneliti malah terkadang kurang pas. Tapi kalau untuk jenjang seperti pendidikan Institut, memang ada semacam klasifikasi dan terdapat nilai tambah, itu kalau menurut saya, penerapan metode pendidikan yang semacam itu malah lebih maju, begitulah, dan kenyataannya memang begitu kok.

Misalkan saya menulis, lalu saya cetak dan tidak pernah saya edarkan, bagus, bagus sekali kalau Kyai imam nulis, tapi setelah saya nulis itu khan tidak ada diskusi atau semacam munakhasah itu gak ada, tapi kalau di dalam metode Kulyah itu khan ada. Jadi seperti yang telah saya sampaikan, seorang ulama itu tidak hanya bisa mengajar tapi juga bisa mengarang kitab, jadi maaf, ini kalau saya menyampaikan tentang masalah kuliah, sebab pernah saya mendengar jika Lirboyo itu tidak kalah dengan doktor. Mereka mengatakan, tidak usah kuliah, padahal kuliah dengan sekolah itu sama, cuma sistemnya saja yang berbeda, nah ulama-ulama sekarang ini kebanyakan kuliah semua, ulama-ulama Al-Azhar yang mengarang kitab, mereka itu bergelar doktor, jadi dalam perkembangan dunia pendidikan itu mereka mempunyai pemikiran yang sangat baik sekali.

Di Lirboyo sendiri dalam sejarahnya, itu tidak ada yang namanya sekolah, hanya sekedar pengajian biasa, semacam halaqoh, bandongan, kemudian oleh seseorang yang bernama Mbah Yai Faqih, diantara santri yang tua itu lalu mendirikan Madrasah. Nah, madrasahnya juga seperti jenjang kuliah, ada jenjang satu, dua dan seterusnya, dulu itu bahkan ada Sifir Awal, Sifir Tsani, yang dianggapnya masih nol, begitulah, kemudian sampai tamat pada jenjang tiga Tsanawiyyah, dan itu berjalan lama sekali. Jadi intinya, dulu itu di Lirboyosekolahnya hanya sampai tamat tsanawiyyah saja, bukan tamat aliyyah, pada waktu dulu, yang menjadi andalan Lirboyo, yah itu. Begitu tamat jenjang Tsanawiyyah Lirboyo, paham dengan pelajarannya, mereka itu sudah mumpuni untuk kemana saja, meneruskan kemasyarakat. Jadi, seperti Kyai Anwar, Kyai Aziz, Kyai Idris itu semuanya tamatan Tsanawiyyah, sebab pada waktu itu memang belum ada jenjang Aliyah, sebenarnya Jenjang Aliyyah dibentuk di khususkan bagi mereka yang menampung aktifitas pengajian, kemudian dibentuklah sebuah jenjang yang dinamakan Aliyyah.

Jadi, seperti halnya banyak Kyai-Kyai yang ada di Indonesia itu wawasan secara nasionalnya masih kurang. Keberadaan mereka secara nasional tidak seperti keberadaan mereka ketika didalam daerahnya sendiri. Paling hanya mengerti apa yang terjadi di daerahnya sendiri, namun jika ulama-ulama bergelar doktor yang ada di mesir misalnya, pengetahuan mereka secara nasionalnya sangat luar biasa bahkan mereka betul-betul paham dengan dunia internasional. Tidak hanya memikirkan perkembangan islam yang ada di negaranya, akan tetapi juga memikirkan islam diluar negaranya. Ini menurut penelitian saya, kadang-kadang keberadaan Kyai di Indonesia itu masih berkutat bagaimana islam yang ada di daerahnya sendiri, persoalan islam di Kalimantan, Sulawesi misalnya, itu tidak banyak yang tahu. Jadi yang banyak mereka tahu islam yang ada di daerahnya saja. Oleh karenanya wawasan mereka saya anggap kurang luas. Itu menurut saya.

Saya sewaktu di Saudi Arabia, sering ditanya oleh seorang doctor tentang perkembangan agama islam di Indonesia, nah, dia itu tahu ternyata telah ada misionaris di kalimatan, misionaris di daerah Indonesia yang lainya, jadi dia itu sudah tahu, bagaimana cara untuk menghadangnya, ini namanya khan berpikir, ini yang menurut saya perlu adanya pengembangan wawasan kebangsaan atau nasional agar islam kedepannya bisa lebih baik lagi.

Selain Gus Harun yang sudah Wafat, saya juga masih punya saudara kandung yang sekarang mengasuh Pondok pesantren HM. Namanya Abdullah Kafabihi, seingat saya dia itu dulu pernah sekolah di MHM hanya saja masih tingkat bawah, dan adiknya, gus An’im Falahuddin juga sekolah di MHM tapi tidak sampai tamat, berbeda dengan generasi santri sebelumnya seperti Kyai Idris, Kyai Anwar, Kyai Aziz, Kyai Habib kemudian ada lagi Gus Thohir mereka semuanya sekolah di madrasah MHM Lirboyosampai tamat. Tapi saya lihat, semua saudara saya itu tidak ada yang tamat, he he (Tertawa). Saya ini sekolah di MHM Lirboyomulai kelas tiga, tapi saya itu dulu sekolahnya morat-marit, hanya saja pernah di ajar oleh Mbah Kyai Mahrus, kemudian adik saya, gus kafa dan gus an’im mondok di Mbah Dimyati. Dulu saya itu sekolahnya mencolot-mencolot begitulah, ya sekolah tapi ya sekolah-sekolahan begitulah. Hehe

Jadi saya dulu itu sekolahnya seenaknya sendiri, waduh, sekolah disini, saya masih kelas dua, yang lain sudah kelas empat, saya juga ikut kelas empat, jadi mencolot-mencolot, morat-marit, ya Allah. Makanya saya tidak punya ijazah Lirboyo, sebab sekolahnya tidak tamat, saya sebenarnya cenderung untuk pengelolaan dan penataan pondok pesantren, utamanya pengelolaan tanah-tanah wakaf. Saya salut sekali dan ingin meniru pondok pesantren Gontor. Jadi disana itu tanah-tanah wakaf dikelola dengan bagus dan dikembangkan menjadi pondok pesantren itu, tidak sampai di sana, putra-putranya sendiri, di gontor itu, di didik semacam suatu yayasan, jadi meskipun putra sendiri kalau sekolah di situ disiplinnya juga seperti santri-santri yang lainnya, salut saya itu, jadi putra-putrinya itu merasa tidak memiliki yayasanya sendiri, hanya merasa berkhidmah saja, berbeda dengan pondok pesantren secara umum seperti yang lainnya itu, biasanya kalau punya pondok, putra-putri Kyai-nya itu merasa memiliki pondok dan merasa berkuasa. Berbeda dengan Gontor, bahkan segala macam persoalan secara adsminitrasinya itu, bahkan Kyai-nya sendiri tidak bisa menggunakan fasilitas itu dengan seenaknya sendiri, jadi Gontor itu tidak Muhammadiyyah, juga tidak NU, jadi hanya keilmuan saja, dan keilmuannya itu macam-macam, ada yang senderung kepada NU, ada yang cenderung kepada Muhammadiyyah, jadi intinya pondok pesantren Gontor tidak ada sangkut pautnya dengan masalah hal-hal yang semacam itu, sebab mereka itu lebih menonjolkan sisi keilmuannya saja. Dan disana itu di persilahkan, NU dipersilahkan, muhammadiyyah di persilahkan, dan ini berlangsung sejak dulu, ya begitu itu, jadi Gontor itu memang menekankan sisi keilmuannya yang berbahasa arab, tidak ada sangkut pautnya dengan masalah ke-organisasi-an, berbeda dengan pondok-pondok pada umumnya, mereka lebih mengutamakan NU, sebab yang mendirikan NU itu awalnya mulanya tak lain adalah orang-orang pesantren, oleh karena itu tidak hera jika ada orang yang mengatakan bahwa pesantren sebenarnya merupakan NU kecil.

Sejak pulang dari Saudi Arabia, saya sebenarnay mau mengembangkan bahasa arab muhadatsah, sampai-sampai saya mengatakan kepada seorang utusan dari Mesir namanya Syaikh Muhammad, saya berusaha, dan sebenarnya salut untuk mengembangkan bahasa. Sebab, pada umumnya pondok pesantren NU itu dalam masalah muhadatsah masih di bilang lemah, hanya saja mereka unggul dalam hal bahasa qiroah mambaca kitab, kebanyakan memang seperti itu, padahal sejak awal saya telah berusaha tapi selalu saja gagal. Nah hal ini pernah saya sampaikan kepada seorang utusan dari mesir, jadi anak-anak yang dekat dengan beliau disana itu sudah mahir-mahir dalam berbahasa arab, saya sendiri tidak tahulah kenapa bisa sulit menerapkan bahasa arab di pesantren lirboyo, Masya Allah.

Harus diakui, kalau orang arab sendiri-pun kalau membaca kitab itu tergantung dari orangnya, jika memang dia sudah menguasai ilmu qowaid, nahwu dan shorof, maka dia bisa membaca kitab dengan benar, tapi pada umumnya orang arab yang tidak buta huruf, tentusaja semuanya bisa membaca, hanya saja pemahamannya yang kadang kurang mendalam, sebab dia itu telah memiliki dzauqul arab, rasa yang dimilikinya sudah arab, maka ketika membacanya-pun itu mudah, seperti halnya orang Indonesia, banyak dari kita yang belum paham tentang segala macam tatabahasanya, tapi kita bisa membaca Koran, majalah. Barangkali seperti itulah, dazuknya kita orang Indonesia sehingga mudah membaca dan berbahasa Indonesia, seperti ucapan kita yang memakai bahasa indonesia ini, jika dilhat dari tatabahasanya apakah bahasa Indonesia yang kita gunakan itu benar atau tidak, wallahu ‘alam, tapi ada juga yang malah bisa segala macam dialek bahasa, seperti dialek Madura, dialek Jakarta, mereka paham tapi tidak mengerti bagaimana bahasa yang berawalan Me, apa bahasa yang akhirnya Kan, nah itu khan tidak ngerti, seprti halnya orang arab, mereka paham dan bisa baca arab, hal ini karena dzuknya. Oleh karena itu, jika ingin orang Indonesia belajar bahasa arab harus menyesuaikan dengan dzauqu arabnya, sebenarnya bisa saja bermuhadasah dengan nahwiyyah, namun dzauknya akan kesulitan saat bertemu dengan orang arab.

Begitu juga banyak Kyai-Kyai yang sudah membaca kitab Ihya’ dan lainnya, hal semacam ini meski sudah bisa qiroah, tapi muhadtsahnya belum bisa, begitu mereka datang ke arab, mereka tidak bisa berbicara arab, sebab disini hanya belajar qiroah dan bukan muhatdasah. Yang saya salut lagi, saat saya kuliyah di Madinah, banyak doktor-doktor disana itu yang hafal al-Qur’an. Jadi kalau dia sudah paham terhadap suatu ilmu, maka dia hafal ilmu itu. Balaghoh misalkan, maka tanpa memakai kitab dia sudah mampu memahaminya, fiqih juga demikian, tanpa memakai kitab mereka sudah bisa menerangkannya. Jadi saya melihat, keberadaan Kyai-Kyai di Indonesia ini perlu di tingkatkan, masalahnya bukan berarti seseorang itu membaca kitab ihya, sebab kitab mereka itu khan sudah ada maknanya, saya salut kepada seorang Kyai ketika membaca kitab yang tidak ada maknanya (kitab kosongan), jadi kebanyakan dari Kyai indonesia masih membaca suatu kitab yang sudah ada maknanya. Sehingga saya belum bisa mengatakan Kyai seperti itu seorang Kyai yang hebat, tapi kalau dia sudah lepas tanpa makna, maka barulah saya bisa menghormatinya. Para doktor disana itu mereka mengajar suatu ilmu yang sudah mereka sendiri sudah hafal di luar kepala.  Jadi saya itu pernah di datangi seseorang yang bilang, Gus saya bade moco kitab mahali, menurut saya ini sudah baik sekali dari pada tidak membaca. Tapi secara keilmuan-nya, saya masih belum bisa menjamin, nah maksud saya begitu. Seperti halnya Mbah Maemun Zuber itu sudah menguasai bahasa arab, jadi beliau itu bisa membaca kitab kosongan tanpa ada maknanya, Mbah Mahrus juga seperti itu.

Dan memang harus diakui sebenarnya ada satu alasan juga, membaca kitab yang diberi sebuah makna, kuatir kalau lupa, khan tidak di catat, ini juga ada bagusnya, hal semacam ini buat siapa saja-lah tidak hanya untuk Lirboyo. Sebab saya masih banyak melihat dari para santri dimana kalau membaca kitab ihya’ atau mahali itu saya lihat kitab mereka masih ada maknanya, ya sudah-lah, ini lebih baik daripada tidak membacanya, oleh karenanya saya itu salut jika ada seseorang yang mebaca kitab dan kitab yang dia baca itu tidak ada maknanya, sebenarnya memang para masyayikh Lirboyoyang sekarang itu belum ada yang top kealimannya itu belum ada. Nah, apalagi jika dibandingkan dengan saya, tentu saja lebih remuk daripada yang lainnya he he (Tertawa). Sebab saya itu masih salut kalau guru saya mengajar kitab alfiyyah, beliau sudah hafal dan menjelaskannya tanpa memakai kitab, seperti sharahnya alfiyah ibnu aqil dan lain sebagainya, itulah kehebatan beliau yang saya saluti, dan memang sepert itulah pengajar-penagajar di al-Azhar dan Ummul Quro, sebab murid-murid didikannya itu memang diwajibkan menghafal kitab yang mereka pelajari, jadi sewaktu Sayyid al-Maliki mengajar Balagoh, apa babnya, semisal bab ini, maka beliau sudah hafal semua seperti yang tercantum dalam kitab jauharul maknun, alfiyyah semisal, maka beliau hafal betul seperti yang ada dalam syarahnya ibnu aqil. Kyai faqih, guru saya juga seperti itu, ketika mengajar ushul fiqh kepada saya, dalilnya dari mana, hadistnya apa, beliau itu hafal semua, nah kalau di Lirboyo, biasanya sewaktu masih di sekolah itu mereka hafal, tapi begitu tamat, mereka sudah lupa, hehe (Tertawa).            

Mengani Gus Makshum

Tentang gus maksum, saya juga pernah bergaul dengan beliau. Sejak kecil gus maksum itu suka dengan ilmu-ilmu kanuragan, rupa-rupanya beliau terpicu dengan adanya peristiwa PKI di Kanigoro yang mau membunuh ayahnya. Pada waktu itu, Kyai jauhari (ayahnya Gus Makshum) di tangkap oleh PKI, sebelum pada akhirnya dilpaskan kembali pada saat di kepolisian. Nah dari peristiwa inilah barangkali Gus Maksum hatinya terpicu oleh orang-orang PKI yang akan membunuh ayahnya pada waktu itu. Kemudian dia berguru, kalau dalam masalah ngaji, gus maksum itu terus terang saja tidak bisa, itu untuk ukuran orang-orang pondokan, tidak bisa baca kitab, beliau yah hanya sekedar ngaji, tapi ukurannya yah tidak termasuk alim, katakanlah begitu. Namun dia berguru mendalami ilmu kanuragan. Hanya saja dia itu dibentengi oleh keimanan yang sangat kuat sekali, kokoh. Jadi dia itu sangat fanatik sekali kepada masalah syari’atnya. disamping benteng keimanan-nya juga sangat kuat sekali. Selain itu dia termasuk orang yang sangat kuat melakukan tirakat. Saya sangat salut kepadanya, sebab dia juga seorang yang sangat pemberani sekali. Dalam menghadapi orang yang merusak kepada agama maka Gus Makshum akan menghadapi betul orang-orang itu. Disamping berani juga di lengkapi dengan ilmu kanuragan yang amat mumpuni sekali, makanya ndak ada orang yang berani macam-macam sama dia, lebih-lebih jika orang itu salah. Unutuk menumpas G/30S PKI-pun Gus Makhsum termasuk komandan-nya.

Mengenai KH.Toha Widodo

Kalau beliau itu sebenarnya, seorang yang selalu usaha, bisa dikatakan bahwa dia lebih memperhatikan masalah pembangunan pondok, bukan pada masalah pendidikannya. Memang harus diakui bahwa Gus Thoha itu mempunyai banyak pengalaman di tempat-tempat pembangunan yang ada di pesantren, cuma berhubung dia itu suka bisnis, berusaha dalam bidang ekonomi dan sukses, berkat doa ibunya. Kalau ngajar tidak pernah, berbeda dengan gus hafidz, yang begitu peduli terhadap bidang pendidikan, jadi yang satu merupakan orang yang perhatian terhadap masalah pembangunan pesantren, yang satunya lagi merupakan orang yang memperhatikan terhadap masalah pendidikan.

Lirboyo Sekarang Berusia 100 Tahun

Diusianya Lirboyo yang ke-seratus tahun ini, kami memang mempunyai semacam program, tapi sebatas pada pengembangan-pengembangannya saja, paling tidak kita semua sepakat tetap mempertahankan salaf-nya, titik. Tidak akan di masuki kurikulum-kurikulum umum didalamnya, adapaun masalah yang bersifat idhofi itu tidak ada masalah asalkan tidak mengganggu kepada pelajaran-pelajaran yang telah ada.

Jadi saya malah lebih cenderung lagi untuk menghadapi situasi yang beredar dalam masyarakat yang majemuk, dalam hal ini sudah banyak orang yang berkomentar, juga pendapatnya Mbah Yai Mahrus, artinya menekuni bidang agama di pondok pesantren Lirboyosecara komplit dan sudah kuat, baru kemudian dipersilahkan untuk menaMbah ilmu pengetahuan umum yang di butuhkan. Ini saran yang disampaikan Mbah Yai Mahrus, karena menurut beliau, ilmu agama adalah dasar hidup, sedangkan ilmu umum itu sangat berguna dalam kemasyarakatan, wacana sejak awal dari Mbah Yai Mahrus memang demikian. Jadi Mbah Yai Mahrus sendiri unutuk masalah pengetahuan umum, bukan berarti meremehkan namun juga menekankan supaya pintar ngaji di Lirboyo, kalau sudah pintar ngaji mau mencari ilmu lain di persilahkan, nah prinsip ini ternyata pernah di tiru oleh Mbah Kyai masduki mahfud, jadi putra-putranya itu di persilahkan kuliah kemana saja, asalkan sudah tamat lLirboyo. Ini prinsip yang saya saluti.

Dulu pernah ada suatu cerita, di pondok pesantren Lirboyoyang menjadi guru itu tak lain orang-orang yang tempatnya dekat di sekitar Kediri, dengan alasan ustadz yang tempat tinggalnya sangat jauh kadang pulangnya terlalu lama, tapi khidmahnya sangat luar biasa. Mbah Kyai Marzuki akhirnya mengangkat guru-guru, tokoh-tokoh orang yang ngaji-ngaji itu dari daerah Kediri, apa hikmah dibalik itu semua, ternyata setelah mereka pulang kembali ketempatnya masing-masing, mereka mendirikan pondok di daerahnya masing-masing, satu contoh adalah nganjuk, Mbah Kyai-nya itu pernah pesan kepada mutakhorijin, bahkan daerah kandangan, blitar, dan tulungangung yang kesemuanya adalah tamatan Lirboyo, asal mulanya ya itu, oleh Mbah Yai Marzuki yang kemudian diarahkan oleh Mbah Yai Mahrus, supaya mereka yang tamat sekolah di Lirboyohendaklah menjadi mustahik terlebih dahulu. Setelah itu kemudian berkembanglah, ada mustahiq yang datang dari orang-orang diluar Kediri, seperti Cirebon yang nilainya sangat bagus terhadap nilai belajar mengajar di Pondok Lirboyo, setelah itu Alhamdulillah, banyak para tamatan Lirboyoyang mendirikan pondok-pondok pesantren, menjadi tokoh masyarakat dll. Nah inilah cara Mbah Kyai Mahrus dan Mbah Kyai Marzuki mengkader para santrinya pada waktu itu.

Banyak sebenarnya para santri Lirboyoyang merasakan mendapat futuh, banyak juga kejadian-kejadian tentang beberapa santri yang ditemui oleh orang ghaib. Malam-malam, secara tiba-tiba saja ada yang berbisik “sudah kamu di Lirboyosampai disini saja, sekarang pulang ke rumah”, ada lagi kejadian seorang santri mimpi di temuai Mbah Yai Karim diberi doa untuk mengamalkan sesuatu, ada juga santri yang mimpi bertemu Mbah Yai Abdul Karim lantas di suwuk kemudian menjadi dogdeng, itu yang aneh sekali, bagi saya hal itu benar benar sangat aneh, masalahnya saya sendiri tidak pernah mimpi Mbah Yai Karim, He he.(tertawa). Namun julukanya kepada Kyai-Kyai setelah mereka pulang di rumah, sama seperti ketika mereka telah di rumahnya masing-masing. Ada juga seorang Kyai, ketika ziaroh kemakam tiba-tiba di cegat oleh seseorang tak dikenal kemudian di kasih do’a. ada juga santri dari pasurauan yang pernah menggembalakan kambing ibu saya, waktu itu sedang menggembalakan kambing di klotok, tiba-tiba di kasih uang oleh seseorang, kemudian di belikan kitab dan dikemudian hari malah menjadi orang alim, kejadian-kejadian semacam itu bagi saya merupakan fenomena yang sangat aneh. Masya Allah, begitulah keajaiban pondok kuno. Hal ini yang tidak di miliki oleh pondok-pondok modern, sehingga banyak santri salaf yang merasakan semua keanehan keanehan yang semacam itu, malah ada juga seorang santri dari jember itu, di pondok hanya mengurus sapinya Mbah Yai Abdul Karim, sewaktu sekolah Cuma seenaknya, akan tetapi, begitu pulang, keramat dan pintar sekali ngajinya, ini ajaib sekali bagi saya. Jadi di Lirboyoitu, orang-orang masih percaya terhadap apa yang namanya “barakah”, jadi inilah keajaiban disebuah pondok pesantren salaf yang ada disini.

Kesalafan Lirboyo

Kyai-Kyai yang ada di Lirboyo itu tidak ada yang thoriqoh, jadi kalau ada thoriqoh biasanya di sumbar, makanya Kyai Lirboyoitu tidak ada yang masuk thoriqoh, tapi mereka tidak pernah menolak dengan adanya thoriqoh, gitu loh, besannya Mbah Mahrus itu orang thoriqoh, besannya Mbah Marzuki juga orang thoriqoh, bapaknya Kyai anwar juga orang thoriqoh, dan memang di Lirboyosendiri tidak di bentuk sebuah thoriqoh, tapi pengamalanya sama dengan orang-orang thoriqoh, yang lebih di kenal lagi dalam dunia Lirboyoitu adalah Mbah Yai Abdul Karim, seorang yang sangat penyabar, saking sabarnya beliau itu seperti malaikat, begitu hormatnya para Kyai-Kyai pada waktu itu, sebab beliau merupakan seorang yang sabar, tidak pernah maido. Pernah ada suatu cerita, kalau ada santri yang nakal itu malah ditangisi oleh beliau, saking ikhlasnya, hal ini secara otomatis malah membuat para santri pada waktu itu menjadi sungkan sendiri. Dulu pondok Lirboyoitu hanya barat dan timur saja, Pondok induk dan HM saja hanya di pisah oleh pekuburan orang-orang umum, seandainya tidak ada kuburan maka pondoknya berkumpul menjadi satu, dalam perkembangannya muncul santri putri al-mubtadi’ah, al-Mahrusiyah, al-Risalah dan yang lainnya, jadi Lirboyoitu berkembang terus menerus.

kemudian jika ada yang bertanya, kok bisa seperti itu?, Jadi, menurut saya, masyayikh di Lirboyoitu ilmunya biasa-biasa saja, tidak ada yang menonjol, jadi mau dikatakan alim itu masih belum ada, dalam penilaian saya, Lirboyobisa berkembang semacam itu sebab adanya persatuan dan kesatuan diantara dzuriyyah Lirboyo, dengan adanya Ittihad seperti inilah dzuriyyah Mbah Yai Abdul Karim bisa mengembangkan pondok pesantren secara bersama-sama. Apakah kemudian Mbah Marzuki itu tidak pernah mengalami cekcok, ya pernah ada, antara Kyai idris dengan Kyai anwar pernah salah paham, antara saya dengan Kyai yang lainya juga pernah salah paham, Gus Makshum-pun pernah pula mengalami hal yang sama, namun tidak sampai menjadi masalah untuk tetap mengembangkan pondok pesantren Lirboyo. Di sinilah peran sebuah badan pondok pesntren yang dinamakan dengan BPKP2L itu yang tujuannya mengantisipasi jika ada permaslahan maka biasanya diselesaikan bersama-sama, jadi salah satu faktor berkembangnya Lirboyoadalah dengan adanya Ittihad, salah satu cirri khasnya yang lain adalah, di Lirboyoitu para masyayikhnya orang-orang yang TAKWA, yakni ”TAKUT ISTRI TUWA”, hehe. (tertawa) Berbeda dengan Pondok Pesantren Ploso, disana Kyai-nya itu banyak yang ”TIDAK TAKWA”, dan itu yang sering saya sampaikan, pernah dulu, saya mau mencoba hal yang semacam itu. tapi Wallau ‘Alam sampai sekarang nggak pernah jadi-jadi, sampai sekarang tidak bisa. Nah ini meruapakan ciri khas dari pondok pesantren Lirboyo, jadi kehidupanya itu memiliki segi cirri khas yang sangat unik, selain masalah keilmuan-nya juga dalam masalah tazawuj-nya juga memiliki ciri khas tersendiri. He he (Tertawa)

Saya juga pernah mau mencoba, yang lainnya juga pernah mau mencoba, tapi wallahu ‘alam, entah kenapa tetap saja tidak bisa, tapi kalau untuk Pondok Pesantren Ploso khan ada istilah bil mastna, Maka untuk para alumni pesantren Lirboyo, kalau mau meniru LirboyoInsya Allah tidak bisa mastna, hehe (tertawa). Apa tidak begitu? jadi satu saja, kalau memang ingin matsna maka mondok dulu ke ploso, jadi ikut Mbah Yai ploso sana, hehe (tertawa).

Dalam masalah struktur pondok pesantren Lirboyo, sebenarnya masalah ini dimulai sejak Mbah Yai Abdul Karim, kemudian benar-benar diterapkan oleh Mbah Marzuki dan Mbah Yai Mahrus, sebab banyak putra-putrinya Mbah Yai Abdul Karim itu di buatkan tempat sendiri-sendiri, seperti NYai ‘Aisyah (ibunya gus maksum) ditempatkan di kanigoro, kakeknya Mbah Bram itu di daerah turus, ada lagi yang ditempatkan di Pacul Gowang. Meski demikian, kami masih tetap saling membantu dan memperhatikan pondok pesantren Lirboyomeski banyak saudara-saudara kami yang tempat tinggalnya berada di luar Lirboyo.

Sedangkan untuk sejarah munculnya BPKP2L itu pertama kali dicetuskan oleh Mbah Kyai Mahrus dalam rangka untuk mengantisipasi terjadinya kekisruhan sepeninggal Mbah Yai Abdul Karim, kemudian menyarankan dengan diadakannya musyawarah keluarga, musyawarah ini tujuannya mengembangkan pondok pesantren Lirboyodan utamanya agar saling merukunkan keluarga dalam rangka mempertahankan pondok pesantren Lirboyo, jadi selain berguna memajukan pondok pesantren di sisi lain juga mempertahankan keutuhan keluarga agar bisa terjaga dengan baik. Melihat dari pengalaman, lihat saja pondok pesantren yang lainnya itu, sepeninggal yang tua, tidak jarang terjadi perpecahan diantara mereka, dan memang, harus diakui bahwa sebenarnya Mbah Yai marus itu sering juga mendamaikan seseorang yang sedang bertikai, seperti di Lirboyosendiri, hal ini merupakan contoh dalam upaya mempertahan kerukunan dan menjaga keutuhan pondok pesantren Lirboyo.

Pesan Untuk Santri Lirboyo

Pesan saya buat santri-santri Lirboyosemuanya, berpegangteguhlah kepada ajaran-ajaran pondok pesantren Lirboyo, di bidang akidah mengikuti ahlu sunnah wal jama’ah, termasuk ajaran an-najiyah Yaitu ajaran al-maturidiyyah dan al-asy’ariyyah, sejak awal yang saya sampaikan memang itu, kepada semua santri Lirboyo, melihat zaman sekarang banyak sekali aliran-aliran yang bertentangan dengan paham ahlu sunnah wal jama’ah, ada aliran Syi’ah, ada Ahmadiyyah, ada Wahabiyyah, dan lain sebagainya, ini yang saya anjurkan agar tetap berpegang teguh kepada ajaran al-Salafiyyah, kemudian di bidang syari’ah mengikuti Dzaha’ibul Arba’ah, imam Syafi’i, adapun Hambaliyyah, Malikyyah, Hanafiyyah bisa dijadikan muqobalah sebab dilirobyo itu tidak diajarkan hanya sebagai muqobalah saja. Maka dari itu, harus tetap berpegang teguh terhadap hal diatas.

Jadi permasalahannya, barangkali pemikiranya Mbah Yai Mahrus dengan mengingat perkembangan zaman, secara global, juga alangkah baiknya disamping mempertahankan ilmu Salafiyyahnya, di lengkapi dengan ilmu pengetahuan umum. Mungkin kalau dia itu perlu bahasa inggris maka dipersilahkan, atau mungkin juga perlu ilmu sosial maka juga di persilahkan, hal ini untuk mengimbangi ilmu yang telah di peroleh disini untuk kemudian dikembangkan di masyarakat. Jadi perlu belajar, semisal ilmu tulis-menulis tentang suatu ilmu agama, ya silahkan, tapi sekedar sebagai tambahan saja, itu saranya Mbah Yai Mahrus. Jadi jangan kalah dengan orang-orang selain Lirboyo, mereka malah mengetahui bidang ilmu agama, juga mengetahui berbagai pengetahuan umum. Nah, yang umum ini bukan sebagai dasar ilmunya, tapi hanya sebagai tambahan, ini saya berpesan sebagaimana pesan yang telah di sampaikan Mbah Mbah Mahrus, maksud saya, kita perlu membekali diri dengan ilmu yang bisa di terapkan dalam masyarakat yang majmuk, ilmu agamanya berguna melayani masyarakat awam dan bergaul terhadap para alim ulama’, unutuk yang umum berguna menghadapai orang-orang selain pesantren seperti para pejabat-pejabat, umara-umara dan lain sebagainya, ini letak permasalahannya. Juga mengetahui tentang masalah-masalah perpolitikan, ini juga perlu, dengan adanya tambahan pengetahuan umum dalam rangka menghadapi situasi dan segala perkemmbangan yang ada, itu menurut saya. Wallahu A’lam.

Semoga beliau ditempatkan oleh Allah disebaik-baiknya tempat.....
Al Fatihah..

Post a Comment

0 Comments